Dalam dua dekade terakhir, batas antara inovasi teknologi sipil dan militer semakin kabur. Jika pada masa lalu kemajuan teknologi seperti internet berakar dari riset militer yang kemudian terbuka untuk publik, kini arah pergerakannya tampak berlawanan. Perusahaan teknologi besar yang dahulu menjadi simbol keterbukaan dan akses universal kini bertransformasi menjadi aktor utama dalam ekosistem pertahanan nasional. Tulisan ini menelaah fenomena militerisasi teknologi melalui tiga dimensi utama—ekonomi data, algoritma dan bias struktural, serta relasi kompleks antara negara dan korporasi—dengan menyoroti implikasinya terhadap kebutuhan strategis Indonesia, seperti pengembangan drone dan sistem pengamanan keuangan digital. Analisis ini berargumen bahwa tata kelola teknologi masa depan harus berakar pada transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik agar keamanan tidak dicapai dengan mengorbankan kebebasan sipil.
Konvergensi antara sektor sipil dan militer dalam bidang teknologi bukan sekadar perkembangan ekonomi atau geopolitik, melainkan menandakan pergeseran paradigma epistemologis dan politis. Teknologi yang dahulu berfungsi sebagai alat emansipasi kini bertransformasi menjadi instrumen kontrol. Dalam konteks global, hal ini terlihat pada bagaimana logika militer—yang menekankan efisiensi, keamanan, dan pengendalian—tertanam dalam arsitektur digital masyarakat sipil. Fenomena ini juga berimplikasi langsung bagi Indonesia, yang tengah memperkuat sistem pertahanan nasional dan keamanan digitalnya melalui pengembangan teknologi strategis seperti drone, sistem AI pertahanan, dan keamanan siber finansial.
“Kita tidak bisa bicara tentang keamanan nasional tanpa membicarakan keamanan data. Dalam setiap drone, ribuan sensor merekam informasi strategis—dari pergerakan objek hingga pola cuaca—dan semua itu adalah aset pertahanan. Tantangannya bukan hanya membangun drone yang terbang, tetapi memastikan datanya tidak ‘terbang’ keluar negeri.”
— CEO Bafarqas Internasional
Pengawasan Berkelanjutan dan Ekonomi Data
Salah satu ciri utama militerisasi teknologi adalah penggabungan logika peperangan dengan mekanisme ekonomi data. Dalam konteks pertahanan modern, keunggulan strategis bergantung pada kemampuan untuk mengumpulkan, memproses, dan menafsirkan data secara real-time. Namun, ketika logika ini diterapkan dalam ruang sipil, muncul kondisi pengawasan total yang melampaui kebutuhan keamanan.
Kasus sistem Lavender yang digunakan dalam konflik Gaza menjadi ilustrasi ekstrem dari bagaimana algoritme yang dirancang untuk mengidentifikasi ancaman dapat beroperasi dengan skala data yang sedemikian besar sehingga setiap individu berpotensi menjadi target. Dalam konteks sipil, fenomena serupa menimbulkan rezim pengawasan prediktif, di mana perilaku manusia dipetakan, dikategorikan, dan dievaluasi berdasarkan norma yang ditentukan oleh kekuasaan dominan.
Bagi Indonesia, hal ini relevan dalam konteks pembangunan kota pintar (smart city) dan pengawasan siber finansial, di mana infrastruktur pengumpulan data diterima sebagai bagian dari kehidupan modern. Padahal, dari perspektif epistemologis, sistem semacam itu menegaskan gagasan bahwa keamanan hanya dapat dicapai melalui keterbukaan total warga terhadap pengawasan negara dan korporasi. Tanpa regulasi yang kuat, logika ini dapat mengikis hak privasi dan kebebasan sipil yang menjadi fondasi demokrasi.
Algoritma, Prediktabilitas, dan Bias Struktural
Aspek kedua dari militerisasi teknologi terletak pada cara sistem berbasis kecerdasan buatan (AI) memproduksi realitas sosial melalui keputusan algoritmik. Model *machine learning* yang digunakan dalam konteks pertahanan sering kali beroperasi sebagai black box, menghasilkan keputusan yang tidak dapat ditelusuri asal-usul logikanya. Dalam sektor militer, model ini mungkin menentukan target berdasarkan pola perilaku yang diinterpretasikan secara statistik. Namun ketika logika serupa diterapkan pada ruang sipil—seperti dalam sistem keamanan kota, pengawasan imigrasi, atau distribusi bantuan sosial—muncul risiko diskriminasi algoritmik dan bias struktural.
Dalam konteks Indonesia, penerapan teknologi AI dalam pengawasan finansial, pemantauan lalu lintas, dan administrasi publik digital menunjukkan kecenderungan serupa. Jika sistem ini diadopsi tanpa transparansi dan mekanisme audit yang jelas, maka keputusan algoritmik dapat menggantikan keputusan etis manusia, menggeser ruang pertimbangan moral ke domain teknokratis yang sulit dipertanggungjawabkan secara demokratis. Oleh karena itu, kebijakan pengembangan AI nasional harus menekankan transparansi algoritmik dan audit etis independen sebagai prasyarat utama.
Kompleksitas Relasi Big Tech dan Negara
Dimensi ketiga dari militerisasi teknologi adalah keterkaitan yang mendalam antara sektor swasta dan negara dalam produksi serta penerapan teknologi pertahanan. Perusahaan seperti Palantir Technologies menunjukkan bagaimana entitas komersial dapat berperan ganda sebagai penyedia solusi pertahanan sekaligus penyedia layanan publik. Dalam konteks Indonesia, fenomena serupa mulai muncul melalui kerja sama antara pemerintah, startup lokal, dan perusahaan global dalam proyek pengembangan drone militer, sistem keamanan siber, serta manajemen data nasional.
Relasi ini menciptakan dilema akuntabilitas: korporasi teknologi menjadi terlalu penting untuk diatur, namun terlalu kuat untuk dipertanyakan. Ketika negara bergantung pada infrastruktur digital yang dibangun oleh aktor non-negara, kekuasaan teknologi bertransformasi menjadi bentuk semi-kedaulatan (semi-sovereign power) — memiliki otonomi yang nyaris setara dengan negara, tetapi tanpa legitimasi demokratis. Situasi ini menandai munculnya bentuk baru neoteknokrasi militer-sipil, di mana kontrol terhadap ruang publik dijalankan melalui mekanisme teknologi yang dikembangkan oleh entitas privat.
Implikasi bagi Ruang Publik dan Demokrasi
Militerisasi teknologi membawa konsekuensi serius bagi ruang publik dan demokrasi. Ketika pengawasan menjadi infrastruktur dasar kehidupan sosial, partisipasi warga tidak lagi bersifat bebas, melainkan bersyarat pada kepatuhan terhadap sistem digital. Ruang publik yang idealnya menjadi arena diskusi dan perbedaan pendapat berisiko tereduksi menjadi ruang yang termoderasi oleh sensor algoritmik dan pengawasan otomatis.
Dalam konteks Indonesia, hal ini menuntut perhatian serius terhadap tata kelola data publik dan keamanan digital. Integrasi sistem pertahanan dengan infrastruktur sipil, seperti sistem pengamanan keuangan digital nasional (Bank Indonesia, OJK, BI-FAST), harus dirancang dengan prinsip privacy by design, audit algoritmik, dan partisipasi publik dalam pengawasan kebijakan.
Kemandirian Teknologi dan Arah Etika Publik Indonesia
Fenomena militerisasi teknologi menandai pergeseran epistemologis dan politis dalam hubungan antara manusia, negara, dan teknologi. Ketika Big Tech dan Defence Tech berkonvergensi, mereka tidak hanya membangun alat baru, tetapi juga membentuk ulang struktur kekuasaan dan norma sosial. Oleh karena itu, strategi pengembangan teknologi nasional—termasuk drone, AI, dan sistem keamanan keuangan—tidak boleh semata-mata berorientasi pada efisiensi dan keamanan, tetapi harus berakar pada etika publik, transparansi, dan partisipasi warga.
Kebijakan pertahanan digital Indonesia sebaiknya diarahkan pada tiga prinsip utama:
1. Kedaulatan data nasional, untuk menghindari ketergantungan pada vendor asing.
2. Transparansi algoritmik dan audit independen, guna menjaga akuntabilitas publik.
3. Pendidikan etika digital, agar pengembang dan pembuat kebijakan memahami implikasi moral dari desain sistem teknologi.
Militerisasi teknologi mengaburkan batas antara keamanan dan kebebasan, antara perlindungan dan pengawasan. Dalam konteks Indonesia, kebutuhan akan sistem pertahanan canggih seperti drone otonom dan sistem pengamanan keuangan berbasis AI memang tidak terhindarkan. Namun, pembangunan tersebut harus dilakukan dalam kerangka kedaulatan etis dan demokratis, bukan sekadar kompetisi geopolitik.
“AI yang kita kembangkan hari ini akan menentukan bagaimana negara memandang risikonya besok. Jika kita membiarkan algoritma yang bias digunakan tanpa pengawasan publik, maka demokrasi bisa tergelincir menjadi otomatisasi kekuasaan.”
— CEO Uniqu Data Vision
Tantangan terbesar bukanlah sekadar regulasi teknis, tetapi rekonstruksi etika publik yang menegaskan bahwa keamanan nasional tidak boleh dicapai dengan mengorbankan kebebasan warga. Pertanyaan mendasar tetap sama: siapa yang diawasi, oleh siapa, dan untuk tujuan apa? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan apakah Indonesia membangun masyarakat yang aman—atau sekadar mengawetkan bentuk baru dari kontrol yang tak terlihat.


Tinggalkan Balasan