Ketika Data Mengguncang Pilar-Pilar Lama
Dalam panggung geopolitik abad ke-21, sebuah paradoks sedang terjadi. Di satu sisi, dunia semakin terhubung oleh aliran data yang melintas batas dalam sekejap mata. Di sisi lain, tembok-tembok digital justru semakin menjulang, dipicu oleh wacana data sovereignty (kedaulatan data) dan keamanan nasional. Data bukanlah komoditas biasa seperti minyak atau beras. Melihat data hanya melalui kacamata ekonomi tradisional adalah kesalahan fatal yang akan membuat kita ketinggalan dalam percaturan kekuasaan global yang sebenarnya.
“Data bukan sekadar sumber nilai ekonomi, tetapi juga instrumen kekuasaan, identitas, dan keamanan nasional,” Susan Aaronson – Pakar Data
Pernyataan ini bukan sekadar retorika. Ia adalah kunci untuk memahami mengapa perang dagang, sanksi teknologi, dan perebutan standar digital kini menjadi headline utama—menggeser konflik konvensional.
Mengapa WTO Gagal Menjadi Wasit di Era Digital?
Ada kegagalan rezim perdagangan global, khususnya WTO, dalam mengatur data. WTO dibangun di atas fondasi abad ke-20, dengan prinsip-prinsip seperti non-discrimination dan kebebasan arus barang. Namun, dunia data adalah dunia yang sama sekali berbeda.
Bayangkan aturan untuk truk pengangkut barang dicoba diterapkan pada aliran cloud computing. Itu tidak akan bekerja. WTO tidak dirancang untuk menangani kompleksitas seperti:
- Privasi warga negara yang datanya melintas ke yurisdiksi lain.
- Keamanan nasional yang terancam oleh serangan siber atau espionase digital.
- Dominasi perusahaan teknologi raksasa (Big Tech) yang kekuatan ekonominya menyaingi banyak negara.
Tanpa kerangka baru, aturan main akan terus ditentukan oleh yang paling kuat, meninggalkan negara-negara berkembang dalam posisi yang semakin rentan.
Kolonialisme Data: Wajah Baru Ketimpangan Global
Konsep “data inequality” atau ketimpangan data. Ini bukan hanya soal siapa yang memiliki akses internet tercepat, tetapi soal siapa yang memiliki kemampuan untuk mengumpulkan, menganalisis, dan memonetisasi data dalam skala masif.
Negara-negara maju dengan perusahaan teknologi seperti Google, Amazon, dan Tencent, telah menjadi “negara industri” baru. Sementara itu, negara berkembang—dengan populasi dan aktivitas digitalnya yang besar—berisiko hanya menjadi “negara penghasil bahan mentah digital.”
Kita menyaksikan kelahiran sebuah bentuk baru “kolonialisme data,” di mana nilai ekonomi dan strategis diekstraksi dari negara selatan (Global South) untuk memperkaya pusat-pusat kekuatan digital di utara.
Indonesia, dengan 200 juta lebih pengguna internet, adalah lahan subur bagi praktik semacam ini. Data perilaku, preferensi, dan transaksi kita dikumpulkan, diolah di server luar negeri, dan nilainya dinikmati oleh perusahaan asing, sementara kita hanya menjadi penonton. Ini adalah ketergantungan struktural yang berbahaya.
Jalan Tengah: Kebebasan dengan Kepercayaan (Data Free Flow with Trust)
Jadi solusinya bukan dengan isolasi digital atau nasionalisme data yang ketat. Sebaliknya, perlu jalan tengah yang cerdas: paradigma tata kelola berbasis kepercayaan (trust-based governance).
Konsep Data Free Flow with Trust (DFFT) yang dipopulerkan OECD sejalan dengan pemikirannya. Intinya adalah:
- Data harus mengalir untuk mendorong inovasi dan pertumbuhan ekonomi global.
- Aliran itu harus dilindungi oleh prinsip-prinsip privasi, keamanan, keadilan, dan akuntabilitas.
Beberapa rekomendasi konkretnya antara lain:
- Membentuk forum global multistakeholder yang melibatkan pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil untuk menetapkan standar bersama.
- Menciptakan indikator keadilan data (data justice) yang mengukur bagaimana manfaat data didistribusikan.
- Memperkuat kapasitas negosiasi negara berkembang agar mereka bukan sekadar objek, tetapi pelaku aktif dalam merancang masa depan digital.
Apa Artinya Bagi Indonesia dan ASEAN?
Kita sedang berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, kita memiliki UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) dan visi Indonesia Digital 2030. Di sisi lain, kita tak ingin ketinggalan dalam arus ekonomi digital global.
Maka Indonesia seyogyanya:
- Berkonsentrasi membangun kapasitas tata kelola, termasuk keamanan siber dan etika AI, untuk menciptakan trust.
- Aktif dalam diplomasi digital di forum seperti ASEAN dan G20 untuk membentuk norma dan standar yang adil.
- Mendorong lahirnya champion teknologi lokal yang dapat mengolah data dalam negeri dan menciptakan nilai tambah.
“Negara yang berhasil bukan yang mengurung data, tetapi yang mampu memerintahnya dengan kepercayaan dan transparansi,” – UDV Corp
Dari Perdagangan Barang ke Perebutan Pengaruh Digital
Perdebatan tentang data adalah cermin dari pergeseran kekuasaan global yang lebih besar. Geopolitik abad ini adalah geopolitik data. Dimana pertaruhan tidak lagi sekadar pada surplus neraca dagang, tetapi pada:
- Kekuatan untuk menetapkan standar teknologi (standard-setting power).
- Kemampuan melakukan pengawasan dan intelijen ekonomi.
- Kontrol atas masa depan Kecerdasan Buatan (AI).
Dengan memahami bahwa “data itu berbeda,” Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya dapat beralih dari sekadar menjadi pasar dalam ekonomi digital global, menjadi pemain yang disegani. Tantangannya tidak lagi teknis semata, tetapi politis: apakah kita memiliki kemauan dan kecerdasan kolektif untuk membangun tata kelola digital yang tidak hanya kaya, tetapi juga adil dan berdaulat?
Masa depan tidak akan ditentukan oleh siapa yang memiliki data terbanyak, tetapi oleh siapa yang paling bijak memegang amanah darinya.


Tinggalkan Balasan