Menapak Titian Bunian di Hutan Belantara
Titian cahaya senja mulai memudar, menyisakan jingga temaram di sela-sela kanopi hutan purba. Aku melangkah hati-hati, menyadari bahwa aku telah memasuki wilayah yang tak sepenuhnya milik manusia. Udara berubah dingin, dan kesunyian yang menyelimuti rimba terasa berbeda—bukan kesunyian yang kosong, melainkan kesunyian yang diisi oleh kehadiran-kehadiran tak kasat mata. Di sini, di jantung hutan yang menjadi batas antara alam manusia dan alam jin, aku mengingat segala nasihat yang diajarkan dalam agamaku.
“Bismillah,” bisikku pelan saat kaki melangkah lebih dalam. Lidahku basah mengucapkan salam penghormatan, “Assalamualaikum ya ahlal ardhi.” Sebuah pengakuan bahwa bumi ini tidak kami huni sendirian. Aku bukanlah penguasa di tanah ini, hanya seorang musafir yang harus menjaga etika sebagai tamu. Dalam Islam, kami percaya jin adalah makhluk seperti kami—ada yang beriman dan ada yang durhaka, memiliki komunitas dan hierarki mereka sendiri, meski tak terperinci seperti dalam dongeng-dongeng.
Saat kegelapan mulai menyelimuti, aku menguatkan hati dengan ayat-ayat perlindungan. Ayat Kursi bergema dalam hati, membentuk perisai tak terlihat. “Allahu la ilaha illa huwal hayyul qayyum…” Bagaimana Rasulullah mengajarkan bahwa setan dan jin semakin aktif saat senja mengganti siang. Aku menolak untuk terpancing oleh setiap bayangan yang bergerak di tepian mata, atau desisan daun yang seolah berbisik nama. Dalam hadis, jin ada yang berbentuk ular dan anjing, dan mereka bisa menyesatkan.
Kutahan untuk tidak membuang air kecil di bawah pohon besar yang menjulang—tempat yang dalam banyak cerita rakyat dianggap sebagai singgasana makhluk halus. Ini bukan sekadar takhayul, tetapi bentuk penghormatan terhadap kemungkinan ada yang menempati. Aku juga menjaga lisan, tidak berbicara sombong atau mengeluh, karena dalam Islam, kesombongan adalah pintu masuk bagi gangguan.
Saat rasa panik mulai menggedor pintu hati karena jalur yang kutempuh terasa asing, kuraih tasbih di saku. Zikir menjadi penjaga nyalaku. “Hasbunallah wa ni’mal wakil,” gumamku. Cukuplah Allah menjadi penolongku. Aku ingat, dalam situasi seperti ini, kepanikan adalah kawan setan, sementara ketenangan yang bersumber pada iman adalah perlindungan.
Tiba-tiba, ada bau harum masakan yang menguar dari balik pepohonan, seolah mengundang untuk singgah. Tapi aku teringat pelajaran: jangan pernah menerima tawaran makanan atau minuman dari entitas tak dikenal di tempat seperti ini. Itu adalah jebakan klasik yang disebut dalam banyak riwayat. Aku terus berjalan, mengabaikan godaan itu, meski perut telah keroncongan.
Aku yakin, di balik hijau daun-daun ini, mungkin ada masyarakat jin yang sedang menjalani aktivitas mereka—beberapa terbang dengan sayapnya, beberapa menetap seperti yang disebut dalam hadis Abu Tha’laba. Mereka memiliki keluarga, keturunan, dan aturan sosial mereka sendiri, persis seperti manusia. Tapi Islam mengajarkanku untuk tidak mencari-cari interaksi dengan mereka. Keberadaanku di sini hanyalah sebagai musafir yang harus menjaga batas.
Ketika fajar akhirnya menyingsing, membawa kabar bahwa malam penujian telah usai, aku bersyukur pada Allah yang telah melindungi. Alam jin tetap menjadi rahasia-Nya, sementara tugas kita adalah melalui wilayah mereka dengan penuh adab dan tawakkal. Hutan ini mengajarkanku makna sebenarnya dari rendah hati—bahwa kami manusia bukanlah satu-satunya penghuni alam semesta, dan bahwa perlindungan sejati hanya datang dari Yang Maha Melihat yang tak terlihat.
Pertemuan dengan Inyiak Harimau: Sebuah Renungan di Bawah Naungan Tauhid
Fajar belum sepenuhnya mengusir kegelapan, ketika kabut tebal masih menyelimuti dasar lembah. Aku terus berjalan mengikuti aliran sungai kecil, berharap menemui jalan pulang. Tiba-tiba, dari balik semak pakis yang basah oleh embun pagi, seekor harimau loreng muncul dengan sikap tenang namun penuh wibawa. Bulu kuning keemasannya seolah memantulkan cahaya pagi yang masih samar. Namun, yang membuatku tidak lari ketakutan adalah matanya—bukan mata binatang buas yang liar, tetapi mata yang berkilat penuh kesadaran dan usia, seolah mengandung ribuan tahun kebijaksanaan. Inilah yang mungkin dalam legenda Minangkabau disebut Inyiak Harimau.
Hatiku berdegup kencang, namun anehnya, rasa panik tidak datang. Aku teringat sabda Rasulullah SAW tentang makna mimpi melihat harimau: ia bisa merupakan simbol penguasa yang zalim atau bahaya yang mengancam. Dalam keadaan terjaga ini, aku memaknainya sebagai ujian nyata dari Allah SWT.
“A’udzu billahi minasy syaithanir rajim,” bisikku, mencari perlindungan kepada Allah dari godaan setan yang mungkin menyertai penampakan ini.
Harimau itu tidak menyerang. Ia hanya duduk tenang, memandangiku dalam-dalam. Dalam pandangan Islam, aku tahu bahwa ini bisa jadi adalah jelmaan jin. Jin, makhluk dari api, memiliki kemampuan untuk menyerupai wujud hewan, termasuk harimau, untuk berinteraksi—atau menyesatkan—manusia. Konsep “harimau jadi-jadian” dalam legenda bukanlah manusia yang berubah wujud, melainkan jin yang menyamar. Ini adalah batasan yang tegas dalam akidahku: manusia tidak memiliki kemampuan mengubah bentuk fisiknya.

Menyapa Inyiak di Lintasan Bukit Barisan
Ketakutan adalah naluri manusiawi. Hadits menyatakan, “Seandainya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya Allah akan memberi rezeki kepada kalian seperti burung yang pergi pagi hari dalam keadaan lapar dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang” (HR. Tirmidzi). Bertemu harimau di hutan belantara adalah momen di mana aku diuji untuk meletakkan ketakutan itu hanya kepada Allah, bukan kepada makhluk-Nya. Kepercayaan buta pada legenda bisa menjerumuskan pada syirik kecil, jika kita lebih takut pada “inyiak harimau” daripada murka Allah. Saat itu, aku yakin bahwa hidup dan matiku sudah diatur oleh-Nya. Jika ini ajalku, aku tidak bisa lari. Jika bukan, harimau sekuat apapun tidak akan bisa mencabut nyawaku tanpa izin-Nya.
Harimau juga melambangkan kekuatan, bahaya, atau musuh yang perkasa. Pertemuanku dengannya adalah cermin pertarungan batin. Apakah aku memiliki “harimau” dalam diriku—ambisi, nafsu amarah, kesombongan—yang suatu saat bisa menerkam imanku? Keheningan harimau itu seolah bertanya, “Sudahkah kau kendalikan ‘harimau’ dalam jiwamu sendiri sebelum takut kepadaku?” Seorang muslim sejati bukanlah yang fisiknya kuat, tetapi yang mampu menguasai dirinya ketika marah, sebagaimana sabda Nabi.
Harimau dengan wibawanya adalah manifestasi dari sifat Allah Al-Qahhar (Maha Mengalahkan). Ia mengingatkanku bahwa di balik keperkasaan semua makhluk, ada Sang Maha Perkasa yang menguasai segala-galanya. Jin yang mungkin menjelma sebagai harimau ini tunduk pada-Nya. Alam semesta yang liar ini tunduk pada-Nya. Bahkan nafsuku yang kadang liar pun harus tunduk pada-Nya. Aku bukan apa-apa di hadapan kekuasaan-Nya.
Aku tidak lari, tetapi juga tidak mendekat. Aku tetap menghormati jarak, sebagaimana Islam mengajarkan adab terhadap semua makhluk. Aku tidak memusuhi, karena bisa jadi ia adalah jin muslim yang tidak ingin diganggu. Aku juga tidak meminta bantuan atau perlindungan kepadanya, karena itu adalah syirik yang menghancurkan tauhid. Perlindungan hanya ku minta kepada Allah dengan membaca Mu’awwidzat (Surah Al-Falaq dan An-Nas).
“Ya Allah, lindungilah aku dari segala keburukan yang Engkau ciptakan,” doaku dalam hati, merujuk pada doa yang diajarkan Rasulullah SAW.
Beberapa saat yang terasa seperti keabadian itu akhirnya berakhir. Harimau itu perlahan bangkit, memandangku sekali lagi, lalu membalikkan badan dan menghilang begitu saja di balik kabut dan rimba, seolah ia adalah bagian dari ilusi hutan.
Aku berdiri terpaku, hati penuh dengan pelajaran. Pertemuan ini bukanlah pertemuan dengan dewa penjaga hutan atau leluhur yang menyamar, tetapi sebuah mau’izhah (pelajaran) dari Allah SWT. Melalui makhluk-Nya, Dia mengingatkanku tentang hakikat ketundukan, kekuasaan-Nya, dan pentingnya menjaga kemurnian tauhid.
Aku melanjutkan perjalanan dengan hati yang lain. Bukan lagi sebagai musafir yang takut, tetapi sebagai hamba yang menyadari bahwa di manapun aku berpijak—bahkan di “kerajaan jin” sekalipun—aku selalu berada dalam kekuasaan dan perlindungan Allah. Hutan, harimau, jin, dan manusia, semua bersujud dengan caranya masing-masing kepada Sang Pencipta. “Maka apakah mereka mencari agama yang lain? Padahal hanya kepada-Nyalah semua yang di langit dan di bumi berserah diri, baik secara sukarela maupun terpaksa, dan hanya kepada-Nyalah mereka dikembalikan.” (QS. Ali ‘Imran: 83).
Mendengarkan Bisikan Gunung dengan Iman
Kabut pagi masih membungkus puncak-puncak gunung seolah menyimpan rahasia zaman. Perjalananku setelah pertemuan dengan Inyiak Harimau terasa berbeda. Sekarang, setiap lekuk bukit, setiap batu besar yang ditumbuhi lumut, dan setiap pohon beringin yang menjulang, seakan memiliki ‘nafas’nya sendiri. Dalam banyak budaya Nusantara, tempat-tempat seperti ini diyakini memiliki ‘penunggu’—entitas gaib yang berkuasa, seringkali digambarkan sebagai raja atau ratu dalam sebuah kerajaan jin yang tak kasat mata.
Di lereng Gunung Lawu, orang bercerita tentang Sunan Lawu yang gaib. Di Rinjani, legenda Dewi Anjani bersemayam. Di Merapi, Kiai Sapu Jagat dikisahkan memimpin bala tentaranya. Begitu juga dengan Jatang atau Hambaruan dihutan belantara gunung Meratus. Narasi-narasi ini begitu hidup, seolah hutan dan gunung bukan sekadar gundukan tanah dan batu, melainkan istana-istana megah di alam lain.
“Dan sesungguhnya di antara kami (jin) ada yang shaleh dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian. Kami menempuh jalan yang berbeda-beda.” (QS. Al-Jinn: 11)
Bisikan alam ini mengisyaratkan bahwa mereka memiliki ‘wilayah’ atau ‘habitat’ tertentu. Tempat-tempat sepi, sunyi, dan jarang dijamah manusia—seperti puncak gunung, hutan lebat, atau gua—adalah tempat yang paling mereka sukai untuk berdiam. Jadi, secara fakta, keyakinan lokal bahwa gunung-gunung tertentu adalah ‘pusat kerajaan jin’ memiliki basis dalam pengakuan Islam akan keberadaan dan pola menetap mereka.
Namun, mari berikan Batasan yang Jelas :
- Bukan Raja yang Disembah, tapi Makhluk yang Juga Tunduk.
Dalam Islam, meskipun jin mungkin memiliki struktur sosial dan bahkan sosok pemimpin yang mereka sebut ‘raja’ di antara mereka, sosok itu tetaplah makhluk ciptaan Allah yang lemah. Mereka bukan objek untuk disembah, dimintai pertolongan, atau ditakuti secara independen dari Allah. Filosofi terdalamnya adalah Tauhid Al-Uluhiyyah—penghambaan hati yang murni hanya kepada Allah. Ketika seseorang lebih takut pada ‘penunggu gunung’ hingga melakukan sesaji daripada takut pada murka Allah, maka di situlah batasan tauhid terlanggar. Raja jin mana pun, sehebat apapun, tunduk pada kalimat La hawla wa la quwwata illa billah (Tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah). - Gunung adalah Tanda Kekuasaan Allah (Ayat Kauniyah), bukan Kekuasaan Jin.
Al-Qur’an sering menyebut gunung sebagai bukti keagungan Pencipta. “Dan telah Kami jadikan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh agar ia (tidak) menggoyangkan mereka…” (QS. Al-Anbiya: 31)
Gunung yang perkasa, dengan segala misterinya, seharusnya mengantarkan hati seorang muslim pada kekaguman kepada Al-Jabbar (Sang Maha Perkasa), bukan pada makhluk yang mungkin menghuninya. ‘Kerajaan’ sejati adalah kerajaan Allah. ‘Penunggu’ sejati dari gunung itu adalah Allah SWT yang menahannya agar bumi tidak berguncang. - Fungsi Ujian dan Penjagaan Iman.
Keberadaan ‘kerajaan jin’ ini berfungsi sebagai ujian bagi keimanan dan akal manusia. Apakah kita akan terkecoh oleh cerita-cerita dan takhayul, atau berpegang teguh pada dalil? Apakah kita akan menjadikan gunung sebagai tempat meminta berkah kepada selain Allah, atau justru sebagai tempat untuk mengingat-Nya (tafakur)? Bagi seorang muslim yang berilmu, gunung tetap bisa dihormati sebagai ciptaan Allah tanpa harus mengakui ‘kekuasaan’ seorang raja jin di dalamnya. - Adab sebagai Cermin Keimanan.
Sikap kita terhadap tempat-tempat ini mencerminkan kematangan tauhid. Islam mengajarkan adab:- Tidak Merusak: Menjaga kelestarian gunung adalah bentuk syukur pada Allah dan penghormatan pada keseimbangan alam yang Dia ciptakan, termasuk bagi jin yang beriman yang mungkin tinggal di sana.
- Bersikap Sopan: Mengucapkan salam saat memasuki tempat sepi, bukan untuk menyembah penunggunya, tapi sebagai pengakuan bahwa kita adalah tamu yang harus menjaga etika, sekaligus bentuk dzikir bahwa Allah Maha Menyaksikan.
- Tidak Mencari-cari Interaksi: Eksplorasi untuk ‘bertemu’ dengan penunggu gaib adalah tindakan sia-sia dan berbahaya yang dilarang dalam Islam. Ibadah kita adalah untuk Allah, bukan untuk mencari pengalaman spiritualitas semu dengan makhluk gaib.
Kesimpulanku dari Perjalanan ini
Gunung-gunung dengan segala ‘penunggu’-nya adalah panggung dimana drama kehambaan diuji. Di satu sisi, ada fakta bahwa jin atau bunian menempatinya. Di sisi lain, ada kewajiban untuk menjaga kemurnian iman. Bagi kita, ‘sang raja’ di balik kerajaan (bunian) gaib gunung itu tidaklah penting. Yang penting adalah sang Malikul Mulk (Pemilik Kerajaan yang sesungguhnya), Allah SWT. Ketakutan kita bukan untuk diarahkan pada makhluk penghuni gunung, tetapi pada Kemahakuasaan Dia yang Menciptakan gunung itu sendiri.
Maka, ketika kita berdiri di puncak, seharusnya yang terucap bukanlah rasa takut pada Dewi Anjani atau Sunan Lawu, tetapi kekaguman yang tulus: “Subhanallah, Maha Suci Allah yang telah menciptakan semua ini.” Dan keyakinan yang mendalam: “Ya Allah, lindungilah aku dari gangguan makhluk-Mu, dan jadikan pendakianku ini sebagai ibadah untuk-Mu.” Dengan demikian, kita memaknai gunung tidak sebagai kerajaan orang bunian atau jin, tetapi sebagai masjid agung di alam terbuka, tempat kita bisa semakin dekat kepada Sang Khaliq, dengan tetap mengakui—namun tidak mengagungkan—keberadaan makhluk-makhluk lain yang juga menjadi hamba-Nya.


Tinggalkan Balasan