Banjir bandang dan longsor yang melanda Sumatra pada akhir november 2025 bukan hanya kisah tentang curah hujan ekstrem, hancurnya infrastruktur, atau angka korban yang menggetarkan hati. Peristiwa ini mengajak kita melihat lebih dalam. Ada pesan yang tidak tertulis, ada isyarat yang tidak bersuara. Alam sedang berbicara, dan manusia dipanggil untuk mendengar
Di satu sisi, sains menjelaskan bagaimana hilangnya hutan, tata ruang yang keliru, dan kerakusan pembangunan melemahkan daya tahan bumi. Namun di sisi lain, ada makna ruhani yang tidak bisa diukur oleh grafik atau laporan teknis. Ketika tanah runtuh dan sungai meluap, kita diingatkan bahwa manusia tidak pernah berdiri sebagai penguasa absolut. Ada batas yang harus dihormati. Ada keseimbangan yang tidak boleh dilanggar.
Bencana ini mengajarkan bahwa hubungan manusia dengan alam adalah bagian dari hubungan manusia dengan Pencipta. Ketika manusia mengabaikan amanah untuk menjaga bumi, kerusakan muncul sebagai teguran yang halus sekaligus tegas. Teguran ini tidak lahir dari murka semata. Ia lebih mirip panggilan lembut agar manusia kembali jujur pada dirinya sendiri, kembali merapikan niat, dan kembali menempatkan kehidupan di atas keserakahan.
Di balik tumpukan lumpur dan reruntuhan rumah, ada hikmah tentang kerendahan hati. Segala kemampuan manusia, teknologi, dan perencanaannya runtuh seketika saat alam bergerak. Ini mengingatkan kita bahwa kekuatan sejati bukan terletak pada kontrol, tetapi pada kepatuhan terhadap aturan moral dan alamiah yang sudah ditetapkan sejak awal. Ketika manusia berjalan selaras dengan aturan itu, hidup menjadi lebih tenang dan bumi menjadi tempat yang lebih aman.
Kejadian ini juga menguji empati. Mereka yang kehilangan keluarga dan tempat tinggal memperlihatkan bahwa beban bencana tidak pernah jatuh merata. Penderitaan mereka mengetuk hati bangsa. Dari sinilah muncul pelajaran lain, yaitu pentingnya keadilan. Keadilan dalam pembangunan. Keadilan dalam mengelola sumber daya. Keadilan dalam memastikan bahwa keputusan ekonomi tidak menggusur keselamatan rakyat kecil. Keadilan adalah inti dari keseimbangan yang diajarkan Alquran secara konsisten.
Ujian ini akhirnya membuka pintu harapan. Ketika manusia tersadar, ia menemukan ruang untuk memperbaiki diri. Dari tragedi lahir kesempatan untuk memperkuat iman, memperbaiki tata kelola alam, dan menata kembali hubungan sosial yang lebih beradab. Alam bisa rusak, tetapi hati bisa tumbuh kembali. Bumi bisa pulih, asalkan manusianya juga pulih. Di sinilah jalan pembaruan itu dimulai.
Setiap bencana membawa pesan bahwa hidup ini rapuh, namun selalu diberi peluang untuk bangkit. Yang tersisa kini adalah pilihan. Apakah kita akan kembali ke pola lama, atau mengambil langkah baru yang lebih bijak. Jika manusia memilih jalan yang kedua, maka bencana bukan lagi akhir, tetapi awal bagi kehidupan yang lebih seimbang dan lebih dekat dengan nilai yang diajarkan wahyu: menjaga, memperbaiki, dan mensyukuri amanah bumi.
Dan ketika manusia kembali ke jalan itu, rahmat Allah akan hadir membawa cahaya ditengah kegelapan zaman.


Tinggalkan Balasan