Penulis: panglima

  • Menyusuri Kerajaan Gaib di Bawah Naungan Tauhid

    Menyusuri Kerajaan Gaib di Bawah Naungan Tauhid

    Menapak Titian Bunian di Hutan Belantara

    Titian cahaya senja mulai memudar, menyisakan jingga temaram di sela-sela kanopi hutan purba. Aku melangkah hati-hati, menyadari bahwa aku telah memasuki wilayah yang tak sepenuhnya milik manusia. Udara berubah dingin, dan kesunyian yang menyelimuti rimba terasa berbeda—bukan kesunyian yang kosong, melainkan kesunyian yang diisi oleh kehadiran-kehadiran tak kasat mata. Di sini, di jantung hutan yang menjadi batas antara alam manusia dan alam jin, aku mengingat segala nasihat yang diajarkan dalam agamaku.

    “Bismillah,” bisikku pelan saat kaki melangkah lebih dalam. Lidahku basah mengucapkan salam penghormatan, “Assalamualaikum ya ahlal ardhi.” Sebuah pengakuan bahwa bumi ini tidak kami huni sendirian. Aku bukanlah penguasa di tanah ini, hanya seorang musafir yang harus menjaga etika sebagai tamu. Dalam Islam, kami percaya jin adalah makhluk seperti kami—ada yang beriman dan ada yang durhaka, memiliki komunitas dan hierarki mereka sendiri, meski tak terperinci seperti dalam dongeng-dongeng.

    Saat kegelapan mulai menyelimuti, aku menguatkan hati dengan ayat-ayat perlindungan. Ayat Kursi bergema dalam hati, membentuk perisai tak terlihat. “Allahu la ilaha illa huwal hayyul qayyum…” Bagaimana Rasulullah mengajarkan bahwa setan dan jin semakin aktif saat senja mengganti siang. Aku menolak untuk terpancing oleh setiap bayangan yang bergerak di tepian mata, atau desisan daun yang seolah berbisik nama. Dalam hadis, jin ada yang berbentuk ular dan anjing, dan mereka bisa menyesatkan.

    Kutahan untuk tidak membuang air kecil di bawah pohon besar yang menjulang—tempat yang dalam banyak cerita rakyat dianggap sebagai singgasana makhluk halus. Ini bukan sekadar takhayul, tetapi bentuk penghormatan terhadap kemungkinan ada yang menempati. Aku juga menjaga lisan, tidak berbicara sombong atau mengeluh, karena dalam Islam, kesombongan adalah pintu masuk bagi gangguan.

    Saat rasa panik mulai menggedor pintu hati karena jalur yang kutempuh terasa asing, kuraih tasbih di saku. Zikir menjadi penjaga nyalaku. “Hasbunallah wa ni’mal wakil,” gumamku. Cukuplah Allah menjadi penolongku. Aku ingat, dalam situasi seperti ini, kepanikan adalah kawan setan, sementara ketenangan yang bersumber pada iman adalah perlindungan.

    Tiba-tiba, ada bau harum masakan yang menguar dari balik pepohonan, seolah mengundang untuk singgah. Tapi aku teringat pelajaran: jangan pernah menerima tawaran makanan atau minuman dari entitas tak dikenal di tempat seperti ini. Itu adalah jebakan klasik yang disebut dalam banyak riwayat. Aku terus berjalan, mengabaikan godaan itu, meski perut telah keroncongan.

    Aku yakin, di balik hijau daun-daun ini, mungkin ada masyarakat jin yang sedang menjalani aktivitas mereka—beberapa terbang dengan sayapnya, beberapa menetap seperti yang disebut dalam hadis Abu Tha’laba. Mereka memiliki keluarga, keturunan, dan aturan sosial mereka sendiri, persis seperti manusia. Tapi Islam mengajarkanku untuk tidak mencari-cari interaksi dengan mereka. Keberadaanku di sini hanyalah sebagai musafir yang harus menjaga batas.

    Ketika fajar akhirnya menyingsing, membawa kabar bahwa malam penujian telah usai, aku bersyukur pada Allah yang telah melindungi. Alam jin tetap menjadi rahasia-Nya, sementara tugas kita adalah melalui wilayah mereka dengan penuh adab dan tawakkal. Hutan ini mengajarkanku makna sebenarnya dari rendah hati—bahwa kami manusia bukanlah satu-satunya penghuni alam semesta, dan bahwa perlindungan sejati hanya datang dari Yang Maha Melihat yang tak terlihat.

    Pertemuan dengan Inyiak Harimau: Sebuah Renungan di Bawah Naungan Tauhid

    Fajar belum sepenuhnya mengusir kegelapan, ketika kabut tebal masih menyelimuti dasar lembah. Aku terus berjalan mengikuti aliran sungai kecil, berharap menemui jalan pulang. Tiba-tiba, dari balik semak pakis yang basah oleh embun pagi, seekor harimau loreng muncul dengan sikap tenang namun penuh wibawa. Bulu kuning keemasannya seolah memantulkan cahaya pagi yang masih samar. Namun, yang membuatku tidak lari ketakutan adalah matanya—bukan mata binatang buas yang liar, tetapi mata yang berkilat penuh kesadaran dan usia, seolah mengandung ribuan tahun kebijaksanaan. Inilah yang mungkin dalam legenda Minangkabau disebut Inyiak Harimau.

    Hatiku berdegup kencang, namun anehnya, rasa panik tidak datang. Aku teringat sabda Rasulullah SAW tentang makna mimpi melihat harimau: ia bisa merupakan simbol penguasa yang zalim atau bahaya yang mengancam. Dalam keadaan terjaga ini, aku memaknainya sebagai ujian nyata dari Allah SWT.

    “A’udzu billahi minasy syaithanir rajim,” bisikku, mencari perlindungan kepada Allah dari godaan setan yang mungkin menyertai penampakan ini.

    Harimau itu tidak menyerang. Ia hanya duduk tenang, memandangiku dalam-dalam. Dalam pandangan Islam, aku tahu bahwa ini bisa jadi adalah jelmaan jin. Jin, makhluk dari api, memiliki kemampuan untuk menyerupai wujud hewan, termasuk harimau, untuk berinteraksi—atau menyesatkan—manusia. Konsep “harimau jadi-jadian” dalam legenda bukanlah manusia yang berubah wujud, melainkan jin yang menyamar. Ini adalah batasan yang tegas dalam akidahku: manusia tidak memiliki kemampuan mengubah bentuk fisiknya.

    Menyapa Inyiak di Lintasan Bukit Barisan

    Ketakutan adalah naluri manusiawi. Hadits menyatakan, “Seandainya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya Allah akan memberi rezeki kepada kalian seperti burung yang pergi pagi hari dalam keadaan lapar dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang” (HR. Tirmidzi). Bertemu harimau di hutan belantara adalah momen di mana aku diuji untuk meletakkan ketakutan itu hanya kepada Allah, bukan kepada makhluk-Nya. Kepercayaan buta pada legenda bisa menjerumuskan pada syirik kecil, jika kita lebih takut pada “inyiak harimau” daripada murka Allah. Saat itu, aku yakin bahwa hidup dan matiku sudah diatur oleh-Nya. Jika ini ajalku, aku tidak bisa lari. Jika bukan, harimau sekuat apapun tidak akan bisa mencabut nyawaku tanpa izin-Nya.

    Harimau juga melambangkan kekuatan, bahaya, atau musuh yang perkasa. Pertemuanku dengannya adalah cermin pertarungan batin. Apakah aku memiliki “harimau” dalam diriku—ambisi, nafsu amarah, kesombongan—yang suatu saat bisa menerkam imanku? Keheningan harimau itu seolah bertanya, “Sudahkah kau kendalikan ‘harimau’ dalam jiwamu sendiri sebelum takut kepadaku?” Seorang muslim sejati bukanlah yang fisiknya kuat, tetapi yang mampu menguasai dirinya ketika marah, sebagaimana sabda Nabi.

    Harimau dengan wibawanya adalah manifestasi dari sifat Allah Al-Qahhar (Maha Mengalahkan). Ia mengingatkanku bahwa di balik keperkasaan semua makhluk, ada Sang Maha Perkasa yang menguasai segala-galanya. Jin yang mungkin menjelma sebagai harimau ini tunduk pada-Nya. Alam semesta yang liar ini tunduk pada-Nya. Bahkan nafsuku yang kadang liar pun harus tunduk pada-Nya. Aku bukan apa-apa di hadapan kekuasaan-Nya.

    Aku tidak lari, tetapi juga tidak mendekat. Aku tetap menghormati jarak, sebagaimana Islam mengajarkan adab terhadap semua makhluk. Aku tidak memusuhi, karena bisa jadi ia adalah jin muslim yang tidak ingin diganggu. Aku juga tidak meminta bantuan atau perlindungan kepadanya, karena itu adalah syirik yang menghancurkan tauhid. Perlindungan hanya ku minta kepada Allah dengan membaca Mu’awwidzat (Surah Al-Falaq dan An-Nas).

    Ya Allah, lindungilah aku dari segala keburukan yang Engkau ciptakan,” doaku dalam hati, merujuk pada doa yang diajarkan Rasulullah SAW.

    Beberapa saat yang terasa seperti keabadian itu akhirnya berakhir. Harimau itu perlahan bangkit, memandangku sekali lagi, lalu membalikkan badan dan menghilang begitu saja di balik kabut dan rimba, seolah ia adalah bagian dari ilusi hutan.

    Aku berdiri terpaku, hati penuh dengan pelajaran. Pertemuan ini bukanlah pertemuan dengan dewa penjaga hutan atau leluhur yang menyamar, tetapi sebuah mau’izhah (pelajaran) dari Allah SWT. Melalui makhluk-Nya, Dia mengingatkanku tentang hakikat ketundukan, kekuasaan-Nya, dan pentingnya menjaga kemurnian tauhid.

    Aku melanjutkan perjalanan dengan hati yang lain. Bukan lagi sebagai musafir yang takut, tetapi sebagai hamba yang menyadari bahwa di manapun aku berpijak—bahkan di “kerajaan jin” sekalipun—aku selalu berada dalam kekuasaan dan perlindungan Allah. Hutan, harimau, jin, dan manusia, semua bersujud dengan caranya masing-masing kepada Sang Pencipta. “Maka apakah mereka mencari agama yang lain? Padahal hanya kepada-Nyalah semua yang di langit dan di bumi berserah diri, baik secara sukarela maupun terpaksa, dan hanya kepada-Nyalah mereka dikembalikan.” (QS. Ali ‘Imran: 83).

    Mendengarkan Bisikan Gunung dengan Iman

    Kabut pagi masih membungkus puncak-puncak gunung seolah menyimpan rahasia zaman. Perjalananku setelah pertemuan dengan Inyiak Harimau terasa berbeda. Sekarang, setiap lekuk bukit, setiap batu besar yang ditumbuhi lumut, dan setiap pohon beringin yang menjulang, seakan memiliki ‘nafas’nya sendiri. Dalam banyak budaya Nusantara, tempat-tempat seperti ini diyakini memiliki ‘penunggu’—entitas gaib yang berkuasa, seringkali digambarkan sebagai raja atau ratu dalam sebuah kerajaan jin yang tak kasat mata.

    Di lereng Gunung Lawu, orang bercerita tentang Sunan Lawu yang gaib. Di Rinjani, legenda Dewi Anjani bersemayam. Di Merapi, Kiai Sapu Jagat dikisahkan memimpin bala tentaranya. Begitu juga dengan Jatang atau Hambaruan dihutan belantara gunung Meratus. Narasi-narasi ini begitu hidup, seolah hutan dan gunung bukan sekadar gundukan tanah dan batu, melainkan istana-istana megah di alam lain.

    “Dan sesungguhnya di antara kami (jin) ada yang shaleh dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian. Kami menempuh jalan yang berbeda-beda.” (QS. Al-Jinn: 11)

    Bisikan alam ini mengisyaratkan bahwa mereka memiliki ‘wilayah’ atau ‘habitat’ tertentu. Tempat-tempat sepi, sunyi, dan jarang dijamah manusia—seperti puncak gunung, hutan lebat, atau gua—adalah tempat yang paling mereka sukai untuk berdiam. Jadi, secara fakta, keyakinan lokal bahwa gunung-gunung tertentu adalah ‘pusat kerajaan jin’ memiliki basis dalam pengakuan Islam akan keberadaan dan pola menetap mereka.

    Namun, mari berikan Batasan yang Jelas :

    1. Bukan Raja yang Disembah, tapi Makhluk yang Juga Tunduk.
      Dalam Islam, meskipun jin mungkin memiliki struktur sosial dan bahkan sosok pemimpin yang mereka sebut ‘raja’ di antara mereka, sosok itu tetaplah makhluk ciptaan Allah yang lemah. Mereka bukan objek untuk disembah, dimintai pertolongan, atau ditakuti secara independen dari Allah. Filosofi terdalamnya adalah Tauhid Al-Uluhiyyah—penghambaan hati yang murni hanya kepada Allah. Ketika seseorang lebih takut pada ‘penunggu gunung’ hingga melakukan sesaji daripada takut pada murka Allah, maka di situlah batasan tauhid terlanggar. Raja jin mana pun, sehebat apapun, tunduk pada kalimat La hawla wa la quwwata illa billah (Tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah).
    2. Gunung adalah Tanda Kekuasaan Allah (Ayat Kauniyah), bukan Kekuasaan Jin.
      Al-Qur’an sering menyebut gunung sebagai bukti keagungan Pencipta. “Dan telah Kami jadikan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh agar ia (tidak) menggoyangkan mereka…” (QS. Al-Anbiya: 31)
      Gunung yang perkasa, dengan segala misterinya, seharusnya mengantarkan hati seorang muslim pada kekaguman kepada Al-Jabbar (Sang Maha Perkasa), bukan pada makhluk yang mungkin menghuninya. ‘Kerajaan’ sejati adalah kerajaan Allah. ‘Penunggu’ sejati dari gunung itu adalah Allah SWT yang menahannya agar bumi tidak berguncang.
    3. Fungsi Ujian dan Penjagaan Iman.
      Keberadaan ‘kerajaan jin’ ini berfungsi sebagai ujian bagi keimanan dan akal manusia. Apakah kita akan terkecoh oleh cerita-cerita dan takhayul, atau berpegang teguh pada dalil? Apakah kita akan menjadikan gunung sebagai tempat meminta berkah kepada selain Allah, atau justru sebagai tempat untuk mengingat-Nya (tafakur)? Bagi seorang muslim yang berilmu, gunung tetap bisa dihormati sebagai ciptaan Allah tanpa harus mengakui ‘kekuasaan’ seorang raja jin di dalamnya.
    4. Adab sebagai Cermin Keimanan.
      Sikap kita terhadap tempat-tempat ini mencerminkan kematangan tauhid. Islam mengajarkan adab:
      • Tidak Merusak: Menjaga kelestarian gunung adalah bentuk syukur pada Allah dan penghormatan pada keseimbangan alam yang Dia ciptakan, termasuk bagi jin yang beriman yang mungkin tinggal di sana.
      • Bersikap Sopan: Mengucapkan salam saat memasuki tempat sepi, bukan untuk menyembah penunggunya, tapi sebagai pengakuan bahwa kita adalah tamu yang harus menjaga etika, sekaligus bentuk dzikir bahwa Allah Maha Menyaksikan.
      • Tidak Mencari-cari Interaksi: Eksplorasi untuk ‘bertemu’ dengan penunggu gaib adalah tindakan sia-sia dan berbahaya yang dilarang dalam Islam. Ibadah kita adalah untuk Allah, bukan untuk mencari pengalaman spiritualitas semu dengan makhluk gaib.

    Kesimpulanku dari Perjalanan ini

    Gunung-gunung dengan segala ‘penunggu’-nya adalah panggung dimana drama kehambaan diuji. Di satu sisi, ada fakta bahwa jin atau bunian menempatinya. Di sisi lain, ada kewajiban untuk menjaga kemurnian iman. Bagi kita, ‘sang raja’ di balik kerajaan (bunian) gaib gunung itu tidaklah penting. Yang penting adalah sang Malikul Mulk (Pemilik Kerajaan yang sesungguhnya), Allah SWT. Ketakutan kita bukan untuk diarahkan pada makhluk penghuni gunung, tetapi pada Kemahakuasaan Dia yang Menciptakan gunung itu sendiri.

    Maka, ketika kita berdiri di puncak, seharusnya yang terucap bukanlah rasa takut pada Dewi Anjani atau Sunan Lawu, tetapi kekaguman yang tulus: “Subhanallah, Maha Suci Allah yang telah menciptakan semua ini.” Dan keyakinan yang mendalam: “Ya Allah, lindungilah aku dari gangguan makhluk-Mu, dan jadikan pendakianku ini sebagai ibadah untuk-Mu.” Dengan demikian, kita memaknai gunung tidak sebagai kerajaan orang bunian atau jin, tetapi sebagai masjid agung di alam terbuka, tempat kita bisa semakin dekat kepada Sang Khaliq, dengan tetap mengakui—namun tidak mengagungkan—keberadaan makhluk-makhluk lain yang juga menjadi hamba-Nya.

  • GERHANA: SAAT ALAM SEMESTA BERBICARA

    GERHANA: SAAT ALAM SEMESTA BERBICARA

    Sebuah Pertunjukan Kosmis yang Menggetarkan Jiwa

    Bayangkan ini: siang yang terik tiba-tiba berubah menjadi senja yang mendalam. Burung-burung berhenti berkicau, lebah menghentikan dengungannya, dan alam seakan menahan napas. Suhu udara turun drastis, bayangan menjadi tajam, dan langit berubah warna bak lukisan surreal. Inilah momen gerhana matahari total – salah satu pertunjukan alam paling dramatis yang bisa disaksikan manusia.

    Pada 8 April 2024, jutaan orang di Amerika Utara menyaksikan fenomena langka ini. Tapi di balik keindahannya, tersimpan pelajaran spiritual yang dalam, khususnya bagi kita umat Muslim.

    Alam yang Turut Bersujud

    Penelitian ilmiah membuktikan bahwa gerhana mempengaruhi seluruh makhluk hidup. Lebah berhenti berdengung tepat di detik gerhana total terjadi. Burung-burung menghentikan kicauan mereka, sementara jangkrik mulai mengeluarkan suara seperti di malam hari. Tanaman pun memperlambat proses fotosintesisnya.

    Seolah seluruh alam semesta ikut merasakan keagungan momen ini. Mereka seakan ikut bersujud mengingat Kebesaran Sang Pencipta.

    Respons Manusia: Dari Takjub hingga Tafakur

    Dr. Kate Russo, seorang psikolog, menemukan fakta menakjubkan dalam penelitiannya. Saat gerhana, manusia mengalami perasaan “awe” atau ketakjuban yang mendalam. Gelombang otak menunjukkan peningkatan introspeksi yang biasanya hanya terlihat dalam pengalaman spiritual yang profound.

    Yang lebih menarik, kerumunan orang yang menyaksikan gerhana bersama mengalami apa yang disebut “collective effervescence” – perasaan menyatu dalam energi kolektif, seperti burung-burung yang terbang dalam formasi harmonis.

    Pelajaran dari Rasulullah SAW: Lebih dari Sekadar Fenomena

    Dalam hadis yang diriwayatkan Bukhari, Rasulullah SAW bersabda: “Matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kebesaran Allah. Keduanya tidak gerhana karena kematian atau kelahiran seseorang, tetapi Allah menjadikannya untuk menimbulkan rasa takut dalam hati hamba-hamba-Nya.”

    Saat terjadi gerhana, Rasulullah SAW tidak mengajak umatnya untuk pesta atau hiburan. Beliau justru:

    • Segera menuju masjid
    • Memimpin shalat dengan berdiri, ruku’, dan sujud yang panjang
    • Berkhutbah mengajak berzikir, berdoa, dan bersedekah

    Makna yang Terkandung dalam Setiap Gerhana

    Mengapa Islam mengajarkan kita untuk merespons gerhana dengan ibadah?

    Pertama, gerhana mengingatkan kita akan keterbatasan manusia. Meski sains telah mampu memprediksi gerhana dengan akurat, kita tetap tidak bisa mencegah atau mengendalikannya.

    Kedua, ini adalah panggilan untuk introspeksi. Sebagaimana matahari yang cahayanya tertutup sesaat, begitu pula hati kita – kadang tertutup oleh dosa dan kelalaian.

    Ketiga, gerhana mengajarkan kita tentang sikap yang benar terhadap fenomena alam. Bukan sebagai tontonan, tetapi sebagai pengingat.

    Nasihat dari Seorang Khalifah

    Dalam khutbahnya saat gerhana 2015, Hazrat Mirza Masroor Ahmad aa mengutip wejangan Hazrat Hakim Maulvi Nuruddin ra: “Kalian adalah anak-anak dari Siraj-e-Munir (Rasulullah SAW yang disebut sebagai Pelita Penerang), maka gunakanlah segala cara yang tepat untuk menyebarkan cahayamu kepada orang lain.”

    Kata-kata ini mengingatkan kita bahwa sebagaimana gerhana menghalangi cahaya matahari sementara, demikian pula dosa dan kelalaian dapat menghalangi cahaya spiritual kita.

    Pilihan Kita di Saat Gerhana

    Saat orang-orang membayar ribuan dollar untuk penerbangan khusus menyaksikan gerhana, atau berpesta dalam festival menyambut fenomena ini, umat Muslim diajak untuk membuat pilihan berbeda.

    Kita diajak untuk:

    • Berhenti sejenak dari kesibukan duniawi
    • Merenung tentang hakikat kehidupan
    • Memperbaiki hubungan dengan Sang Pencipta
    • Memperbanyak amal dan kebaikan

    Transformasi Spiritual melalui Gerhana

    Gerhana bukan sekadar peristiwa astronomi. Ia adalah kesempatan untuk:

    • Menguatkan iman melalui pengamatan tanda-tanda kebesaran Allah
    • Membersihkan hati melalui istighfar dan doa
    • Mempererat ukhuwah melalui shalat berjamaah
    • Berbagi kebaikan melalui sedekah

    Sebuah Refleksi

    Di zaman ketika sains telah mampu menjelaskan mekanisme gerhana, mungkin kita bertanya: mengapa masih perlu takut dan beribadah?

    Jawabannya terletak pada hakikat sebagai hamba. Sebagaimana seorang anak tetap menghormati orangtuanya meski memahami seluk-beluk kehidupan, demikian pula kita tetap mengagungkan Pencipta meski memahami hukum alam.

    Gerhana mengajarkan kita kerendahan hati. Bahwa di atas semua pengetahuan manusia, tetap ada Kebijaksanaan Tertinggi yang mengatur alam semesta.

    Maka, ketika gerhana berikutnya datang, marilah kita menyambutnya bukan dengan kamera atau kaca mata gerhana semata, tetapi dengan hati yang terbuka, siap untuk ditransformasi oleh keagungan momen kosmis ini.

    Karena sesungguhnya, dalam setiap gerhana, alam semesta sedang berbicara. Pertanyaannya: akankah kita mendengarnya?

  • Mendengar Suara Nebula: Ketika Sains dan Ayat Suci Bertemu

    Mendengar Suara Nebula: Ketika Sains dan Ayat Suci Bertemu

    Pernahkah Anda membayangkan mendengar suara nebula? Meski ruang angkasa adalah vakum sempurna yang tidak dapat menghantarkan suara, para ilmuwan NASA berhasil “mendengarkan” keindahan kosmis melalui teknik revolusioner bernama sonifikasi. Ini bukan sihir, melainkan bukti kemajuan sains yang justru semakin mengukuhkan kebenaran ayat-ayat suci.

    Apa Itu Sonifikasi?

    Bayangkan Anda memiliki foto nebula yang indah. Setiap pixel dalam foto tersebut mengandung data ilmiah – intensitas cahaya, jenis radiasi, dan posisi objek. Melalui sonifikasi, data visual ini diterjemahkan menjadi suara:

    • Cahaya terang menjadi nada tinggi
    • Area gelap menjadi nada rendah
    • Pergerakan objek mengatur tempo dan ritme
    • Unsur kimia berbeda diwakili instrumen berbeda

    Hasilnya? Sebuah “komposisi kosmis” yang memukau – seperti orkestra alam semesta yang memainkan simfoni penciptaan.

    Keterbatasan Manusia vs Kecerdasan Teknologi

    Mengapa kita butuh sonifikasi? Karena indera manusia terbatas. Mata kita hanya dapat melihat cahaya tampak, telinga hanya mendengar frekuensi 20-20.000 Hz. Padahal, alam semesta penuh dengan radiasi elektromagnetik – dari sinar-X hingga gelombang radio – yang tidak dapat kita rasakan langsung.

    Sonifikasi menjadi “telinga ketiga” yang memampukan kita mengalami alam semesta secara multisensori. Teknologi ini bukan sekadar hiburan, melainkan alat penelitian serius yang membantu astronom:

    • Mendeteksi pola tersembunyi dalam data kompleks
    • Membuat astronomi dapat diakses penyandang tunanetra
    • Menemukan anomaly yang mungkin terlewat dalam analisis visual

    Harmoni Sains dan Iman

    Yang lebih menakjubkan, temuan sains modern ini justru membuktikan kebenaran Al-Qur’an yang turun 14 abad silam:

    1. Nebula sebagai ‘Dukhan’ (Asap Kosmis)
    Dalam Surah Fussilat ayat 11-12, Allah berfirman tentang langit yang awalnya berupa ‘dukhan’ (asap). Persis seperti yang diamati ilmuwan – nebula adalah awan gas dan debu raksasa yang menjadi bahan baku pembentukan bintang dan planet. Sonifikasi mengungkap proses kelahiran bintang dalam “asap kosmis” ini.

    2. Alam Semesta yang Tunduk
    Surah Al-Jāthiyah ayat 13 menyatakan bahwa Allah menundukkan segala yang di langit dan bumi untuk manusia. Sonifikasi adalah manifestasi modern dari “penundukan” ini – di mana kita dapat “mendengarkan” objek yang jaraknya miliaran tahun cahaya.

    3. Kesempurnaan Penciptaan
    Surah Al-Mulk ayat 3-4 menantang manusia mencari cacat dalam penciptaan langit. Sonifikasi justru mengungkap harmoni dan pola teratur dalam chaos kosmis – setiap nebula memiliki “sidik jari akustik” yang unik dan teratur.

    Memaknai Lebih Dalam Sonifikasi ..

    Sonifikasi mengajarkan kita bahwa:

    Setiap Ciptaan Bertasbih
    Meski secara fisik nebula tidak mengeluarkan suara, data sonifikasi membuktikan bahwa seluruh alam semesta bergerak dalam pola teratur yang dapat “didengar” – mengingatkan pada firman Allah bahwa semua ciptaan bertasbih kepada-Nya (QS 17:44).

    Ilmu sebagai Jalan Iman
    Teknologi sonifikasi bukan menjauhkan kita dari iman, justru memperdalamnya. Setiap nada yang dihasilkan dari data nebula adalah pengingat akan kebesaran Pencipta yang mengatur alam semesta dengan hukum matematis yang presisi.

    Melihat dengan Hati
    Sonifikasi mengajarkan bahwa terkadang, “mendengar” dapat lebih bermakna daripada melihat. Dalam keheningan ruang angkasa, tersembunyi simfoni agung yang hanya dapat diungkap melalui kecerdasan dan teknologi.

    Pengalaman Transformatif

    Bagi banyak ilmuwan dan pemeluk agama, mendengar “suara” nebula adalah pengalaman spiritual. Ini bukan sekadar data mentah, melainkan jendela untuk menyaksikan keagungan penciptaan. Sebagaimana diajarkan dalam QS Ali ‘Imran ayat 190-191, memikirkan penciptaan langit dan bumi adalah jalan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.

    Masa Depan Eksplorasi

    Ke depan, sonifikasi akan semakin penting dalam eksplorasi ruang angkasa. Kita mungkin akan dapat:

    • “Mendengarkan” tabrakan galaksi
    • Menyimak “detak jantung” bintang yang sekarat
    • Mengenal karakteristik planet melalui “nada” mereka

    Setiap penemuan baru tidak akan mengurangi misteri alam semesta, justru semakin membuka mata kita akan kebesaran Ilahi.

    Sains yang Menyempurnakan Iman

    Sonifikasi nebula mengajarkan kita pelajaran berharga: sains dan agama bukanlah musuh, melainkan dua sisi mata uang yang sama. Sains memberikan “bagaimana”-nya, agama memberikan “mengapa”-nya. Melalui teknologi, kita dapat menyelami mukjizat penciptaan yang sebelumnya tersembunyi.

    Seperti orkestra yang membutuhkan konduktor, alam semesta yang harmonis ini pasti memiliki Sang Pengatur. Dan melalui sonifikasi, kita mungkin sedang mendengar gema kecil dari simfoni agung ciptaan-Nya.

    Maha Suci Engkau ya Allah, tidaklah Engkau ciptakan semua ini sia-sia.

  • Dari Konsumen Menuju Pemain Utama dalam Peta Energi Global

    Dari Konsumen Menuju Pemain Utama dalam Peta Energi Global

    Dalam peta energi global yang sedang berubah cepat, Indonesia tidak lagi hanya menjadi penonton. Gelombang transisi energi hijau telah memicu pergeseran kekuatan geopolitik dunia, dan negeri kepulauan terbesar ini bersiap mengambil peran strategisnya. Blueprint Energi Indonesia 2045 hadir sebagai peta jalan yang tidak hanya berfokus pada urusan domestik, tetapi juga menempatkan energi sebagai instrumen diplomasi dan kekuatan geopolitik di kancah internasional. Visi “Sovereign, Sustainable, Strategic” yang diusungnya mencerminkan ambisi Indonesia untuk menjadi aktor penting dalam tata kelola energi global baru.

    Lanskap geopolitik energi dunia memang sedang mengalami transformasi mendasar. Dinamika harga minyak dan kebijakan produksi OPEC+ terus mempengaruhi stabilitas ekonomi global, sementara rivalitas antara Amerika Serikat dan Tiongkok menciptakan medan pertempuran baru di sektor energi. Dalam pusaran perubahan ini, Indonesia menghadapi tantangan kompleks mulai dari ketergantungan impor minyak mentah yang masih tinggi, fluktuasi harga komoditas energi, hingga tekanan untuk mempercepat transisi menuju energi bersih. Namun, di balik tantangan tersebut tersimpan peluang besar untuk menata ulang posisi strategis Indonesia dalam arsitektur energi global.

    Blueprint Energi 2045 merespons realitas baru ini melalui tiga pilar utama yang saling terkait. Pertama, diplomasi energi multivektor yang memungkinkan Indonesia menjalin kerja sama dengan berbagai kekuatan global tanpa terikat secara eksklusif pada satu blok tertentu. Kedua, transformasi teknologi yang menggeser basis ekonomi dari ketergantungan sumber daya alam menuju penguasaan teknologi energi hijau. Ketiga, penguatan infrastruktur hijau yang menjadi fondasi menuju kedaulatan energi nasional. Ketiga pilar ini tidak hanya berorientasi pada pemenuhan kebutuhan domestik, tetapi juga memperkuat posisi tawar Indonesia di forum-forum energi internasional.

    Diplomasi energi multivektor yang diusung Indonesia mencerminkan strategi cerdas dalam navigasi geopolitik yang kompleks. Melalui keanggotaan dalam BRICS, Indonesia mengakses pendanaan dan teknologi dari negara-negara Selatan global. Kerja sama dengan India dan Tiongkok dalam pengembangan baterai litium-nikel menunjukkan kemampuan Indonesia memanfaatkan persaingan teknologi untuk kepentingan nasional. Sementara itu, integrasi ASEAN Power Grid menempatkan Indonesia sebagai hub energi regional yang menghubungkan berbagai kepentingan di kawasan Asia Tenggara. Pendekatan ini memungkinkan Indonesia menjaga netralitas strategis sambil memperjuangkan kepentingan nasionalnya.

    Transformasi teknologi menjadi senjata utama Indonesia dalam menghadapi persaingan energi global. Pengembangan floating solar power dan deep geothermal wells menunjukkan komitmen Indonesia memanfaatkan potensi domestik secara maksimal. Investasi dalam research and development baterai generasi berikutnya, termasuk melalui Indonesia Battery Corporation, menjadi langkah strategis untuk masuk dalam rantai pasok energi global yang semakin kompetitif. Implementasi smart grid berbasis AI dan IoT tidak hanya meningkatkan efisiensi sistem energi nasional, tetapi juga memposisikan Indonesia sebagai pelaku dalam revolusi industri 4.0 di sektor energi.

    Infrastruktur hijau menjadi tulang punggung yang menyatukan visi energi nasional. Pembangunan supergrid HVDC akan menghubungkan sistem kelistrikan antar pulau, mengatasi tantangan geografis sekaligus menciptakan pasar energi terintegrasi. National Energy Storage System (NESS) yang direncanakan akan memperkuat ketahanan energi nasional terhadap guncangan eksternal. Sementara green industrial corridors di Kalimantan dan Sulawesi tidak hanya menjadi pusat produksi energi hijau, tetapi juga simbol transformasi ekonomi Indonesia menuju industri berkelanjutan.

    Implementasi blueprint ini menghadapi tantangan nyata. Ketergantungan teknologi pada negara maju masih menjadi kendala signifikan yang membutuhkan strategi transfer teknologi yang cerdas. Keterbatasan kapasitas fiskal mengharuskan Indonesia merancang skema pembiayaan inovatif, termasuk melalui green sukuk dan energy transition bond. Koordinasi lintas sektor dan lembaga juga menjadi ujian bagi kemampuan Indonesia menjalankan governansi energi yang efektif. Namun, dengan konsistensi kebijakan dan kepemimpinan yang visioner, tantangan ini dapat diubah menjadi peluang untuk membangun kemandirian energi.

    Pada 2045, Indonesia berpotensi menjadi “energy bridge” yang menghubungkan kepentingan berbagai kekuatan global. Melalui penguasaan teknologi energi hijau dan posisi strategis di kawasan, Indonesia dapat menjadi penyeimbang dalam geopolitik energi global. Blueprint Energi 2045 bukan sekadar dokumen perencanaan, melainkan manifestasi dari ambisi Indonesia untuk menentukan nasib energinya sendiri sekaligus berkontribusi dalam tata kelola energi global yang lebih adil dan berkelanjutan. Perjalanan menuju 2045 telah dimulai, dan setiap langkah yang diambil hari ini akan menentukan apakah Indonesia menjadi pemain utama atau tetap menjadi penonton dalam percaturan energi global masa depan.

  • Data adalah Medan Perang Kekuasaan Global

    Data adalah Medan Perang Kekuasaan Global

    Ketika Data Mengguncang Pilar-Pilar Lama

    Dalam panggung geopolitik abad ke-21, sebuah paradoks sedang terjadi. Di satu sisi, dunia semakin terhubung oleh aliran data yang melintas batas dalam sekejap mata. Di sisi lain, tembok-tembok digital justru semakin menjulang, dipicu oleh wacana data sovereignty (kedaulatan data) dan keamanan nasional. Data bukanlah komoditas biasa seperti minyak atau beras. Melihat data hanya melalui kacamata ekonomi tradisional adalah kesalahan fatal yang akan membuat kita ketinggalan dalam percaturan kekuasaan global yang sebenarnya.

    “Data bukan sekadar sumber nilai ekonomi, tetapi juga instrumen kekuasaan, identitas, dan keamanan nasional,” Susan Aaronson – Pakar Data

    Pernyataan ini bukan sekadar retorika. Ia adalah kunci untuk memahami mengapa perang dagang, sanksi teknologi, dan perebutan standar digital kini menjadi headline utama—menggeser konflik konvensional.

    Mengapa WTO Gagal Menjadi Wasit di Era Digital?

    Ada kegagalan rezim perdagangan global, khususnya WTO, dalam mengatur data. WTO dibangun di atas fondasi abad ke-20, dengan prinsip-prinsip seperti non-discrimination dan kebebasan arus barang. Namun, dunia data adalah dunia yang sama sekali berbeda.

    Bayangkan aturan untuk truk pengangkut barang dicoba diterapkan pada aliran cloud computing. Itu tidak akan bekerja. WTO tidak dirancang untuk menangani kompleksitas seperti:

    • Privasi warga negara yang datanya melintas ke yurisdiksi lain.
    • Keamanan nasional yang terancam oleh serangan siber atau espionase digital.
    • Dominasi perusahaan teknologi raksasa (Big Tech) yang kekuatan ekonominya menyaingi banyak negara.

    Tanpa kerangka baru, aturan main akan terus ditentukan oleh yang paling kuat, meninggalkan negara-negara berkembang dalam posisi yang semakin rentan.

    Kolonialisme Data: Wajah Baru Ketimpangan Global

    Konsep “data inequality” atau ketimpangan data. Ini bukan hanya soal siapa yang memiliki akses internet tercepat, tetapi soal siapa yang memiliki kemampuan untuk mengumpulkan, menganalisis, dan memonetisasi data dalam skala masif.

    Negara-negara maju dengan perusahaan teknologi seperti Google, Amazon, dan Tencent, telah menjadi “negara industri” baru. Sementara itu, negara berkembang—dengan populasi dan aktivitas digitalnya yang besar—berisiko hanya menjadi “negara penghasil bahan mentah digital.”

    Kita menyaksikan kelahiran sebuah bentuk baru “kolonialisme data,” di mana nilai ekonomi dan strategis diekstraksi dari negara selatan (Global South) untuk memperkaya pusat-pusat kekuatan digital di utara.

    Indonesia, dengan 200 juta lebih pengguna internet, adalah lahan subur bagi praktik semacam ini. Data perilaku, preferensi, dan transaksi kita dikumpulkan, diolah di server luar negeri, dan nilainya dinikmati oleh perusahaan asing, sementara kita hanya menjadi penonton. Ini adalah ketergantungan struktural yang berbahaya.

    Jalan Tengah: Kebebasan dengan Kepercayaan (Data Free Flow with Trust)

    Jadi solusinya bukan dengan isolasi digital atau nasionalisme data yang ketat. Sebaliknya, perlu jalan tengah yang cerdas: paradigma tata kelola berbasis kepercayaan (trust-based governance).

    Konsep Data Free Flow with Trust (DFFT) yang dipopulerkan OECD sejalan dengan pemikirannya. Intinya adalah:

    1. Data harus mengalir untuk mendorong inovasi dan pertumbuhan ekonomi global.
    2. Aliran itu harus dilindungi oleh prinsip-prinsip privasi, keamanan, keadilan, dan akuntabilitas.

    Beberapa rekomendasi konkretnya antara lain:

    • Membentuk forum global multistakeholder yang melibatkan pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil untuk menetapkan standar bersama.
    • Menciptakan indikator keadilan data (data justice) yang mengukur bagaimana manfaat data didistribusikan.
    • Memperkuat kapasitas negosiasi negara berkembang agar mereka bukan sekadar objek, tetapi pelaku aktif dalam merancang masa depan digital.

    Apa Artinya Bagi Indonesia dan ASEAN?

    Kita sedang berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, kita memiliki UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) dan visi Indonesia Digital 2030. Di sisi lain, kita tak ingin ketinggalan dalam arus ekonomi digital global.

    Maka Indonesia seyogyanya:

    • Berkonsentrasi membangun kapasitas tata kelola, termasuk keamanan siber dan etika AI, untuk menciptakan trust.
    • Aktif dalam diplomasi digital di forum seperti ASEAN dan G20 untuk membentuk norma dan standar yang adil.
    • Mendorong lahirnya champion teknologi lokal yang dapat mengolah data dalam negeri dan menciptakan nilai tambah.

    “Negara yang berhasil bukan yang mengurung data, tetapi yang mampu memerintahnya dengan kepercayaan dan transparansi,” – UDV Corp

    Dari Perdagangan Barang ke Perebutan Pengaruh Digital

    Perdebatan tentang data adalah cermin dari pergeseran kekuasaan global yang lebih besar. Geopolitik abad ini adalah geopolitik data. Dimana pertaruhan tidak lagi sekadar pada surplus neraca dagang, tetapi pada:

    • Kekuatan untuk menetapkan standar teknologi (standard-setting power).
    • Kemampuan melakukan pengawasan dan intelijen ekonomi.
    • Kontrol atas masa depan Kecerdasan Buatan (AI).

    Dengan memahami bahwa “data itu berbeda,” Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya dapat beralih dari sekadar menjadi pasar dalam ekonomi digital global, menjadi pemain yang disegani. Tantangannya tidak lagi teknis semata, tetapi politis: apakah kita memiliki kemauan dan kecerdasan kolektif untuk membangun tata kelola digital yang tidak hanya kaya, tetapi juga adil dan berdaulat?

    Masa depan tidak akan ditentukan oleh siapa yang memiliki data terbanyak, tetapi oleh siapa yang paling bijak memegang amanah darinya.

  • Militerisasi Teknologi dan Tantangan Etika bagi Kemandirian Teknologi Indonesia

    Militerisasi Teknologi dan Tantangan Etika bagi Kemandirian Teknologi Indonesia

    Dalam dua dekade terakhir, batas antara inovasi teknologi sipil dan militer semakin kabur. Jika pada masa lalu kemajuan teknologi seperti internet berakar dari riset militer yang kemudian terbuka untuk publik, kini arah pergerakannya tampak berlawanan. Perusahaan teknologi besar yang dahulu menjadi simbol keterbukaan dan akses universal kini bertransformasi menjadi aktor utama dalam ekosistem pertahanan nasional. Tulisan ini menelaah fenomena militerisasi teknologi melalui tiga dimensi utama—ekonomi data, algoritma dan bias struktural, serta relasi kompleks antara negara dan korporasi—dengan menyoroti implikasinya terhadap kebutuhan strategis Indonesia, seperti pengembangan drone dan sistem pengamanan keuangan digital. Analisis ini berargumen bahwa tata kelola teknologi masa depan harus berakar pada transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik agar keamanan tidak dicapai dengan mengorbankan kebebasan sipil.

    Konvergensi antara sektor sipil dan militer dalam bidang teknologi bukan sekadar perkembangan ekonomi atau geopolitik, melainkan menandakan pergeseran paradigma epistemologis dan politis. Teknologi yang dahulu berfungsi sebagai alat emansipasi kini bertransformasi menjadi instrumen kontrol. Dalam konteks global, hal ini terlihat pada bagaimana logika militer—yang menekankan efisiensi, keamanan, dan pengendalian—tertanam dalam arsitektur digital masyarakat sipil. Fenomena ini juga berimplikasi langsung bagi Indonesia, yang tengah memperkuat sistem pertahanan nasional dan keamanan digitalnya melalui pengembangan teknologi strategis seperti drone, sistem AI pertahanan, dan keamanan siber finansial.

    “Kita tidak bisa bicara tentang keamanan nasional tanpa membicarakan keamanan data. Dalam setiap drone, ribuan sensor merekam informasi strategis—dari pergerakan objek hingga pola cuaca—dan semua itu adalah aset pertahanan. Tantangannya bukan hanya membangun drone yang terbang, tetapi memastikan datanya tidak ‘terbang’ keluar negeri.”
    — CEO Bafarqas Internasional

    Pengawasan Berkelanjutan dan Ekonomi Data

    Salah satu ciri utama militerisasi teknologi adalah penggabungan logika peperangan dengan mekanisme ekonomi data. Dalam konteks pertahanan modern, keunggulan strategis bergantung pada kemampuan untuk mengumpulkan, memproses, dan menafsirkan data secara real-time. Namun, ketika logika ini diterapkan dalam ruang sipil, muncul kondisi pengawasan total yang melampaui kebutuhan keamanan.
    Kasus sistem Lavender yang digunakan dalam konflik Gaza menjadi ilustrasi ekstrem dari bagaimana algoritme yang dirancang untuk mengidentifikasi ancaman dapat beroperasi dengan skala data yang sedemikian besar sehingga setiap individu berpotensi menjadi target. Dalam konteks sipil, fenomena serupa menimbulkan rezim pengawasan prediktif, di mana perilaku manusia dipetakan, dikategorikan, dan dievaluasi berdasarkan norma yang ditentukan oleh kekuasaan dominan.

    Bagi Indonesia, hal ini relevan dalam konteks pembangunan kota pintar (smart city) dan pengawasan siber finansial, di mana infrastruktur pengumpulan data diterima sebagai bagian dari kehidupan modern. Padahal, dari perspektif epistemologis, sistem semacam itu menegaskan gagasan bahwa keamanan hanya dapat dicapai melalui keterbukaan total warga terhadap pengawasan negara dan korporasi. Tanpa regulasi yang kuat, logika ini dapat mengikis hak privasi dan kebebasan sipil yang menjadi fondasi demokrasi.

    Algoritma, Prediktabilitas, dan Bias Struktural

    Aspek kedua dari militerisasi teknologi terletak pada cara sistem berbasis kecerdasan buatan (AI) memproduksi realitas sosial melalui keputusan algoritmik. Model *machine learning* yang digunakan dalam konteks pertahanan sering kali beroperasi sebagai black box, menghasilkan keputusan yang tidak dapat ditelusuri asal-usul logikanya. Dalam sektor militer, model ini mungkin menentukan target berdasarkan pola perilaku yang diinterpretasikan secara statistik. Namun ketika logika serupa diterapkan pada ruang sipil—seperti dalam sistem keamanan kota, pengawasan imigrasi, atau distribusi bantuan sosial—muncul risiko diskriminasi algoritmik dan bias struktural.

    Dalam konteks Indonesia, penerapan teknologi AI dalam pengawasan finansial, pemantauan lalu lintas, dan administrasi publik digital menunjukkan kecenderungan serupa. Jika sistem ini diadopsi tanpa transparansi dan mekanisme audit yang jelas, maka keputusan algoritmik dapat menggantikan keputusan etis manusia, menggeser ruang pertimbangan moral ke domain teknokratis yang sulit dipertanggungjawabkan secara demokratis. Oleh karena itu, kebijakan pengembangan AI nasional harus menekankan transparansi algoritmik dan audit etis independen sebagai prasyarat utama.

    Kompleksitas Relasi Big Tech dan Negara

    Dimensi ketiga dari militerisasi teknologi adalah keterkaitan yang mendalam antara sektor swasta dan negara dalam produksi serta penerapan teknologi pertahanan. Perusahaan seperti Palantir Technologies menunjukkan bagaimana entitas komersial dapat berperan ganda sebagai penyedia solusi pertahanan sekaligus penyedia layanan publik. Dalam konteks Indonesia, fenomena serupa mulai muncul melalui kerja sama antara pemerintah, startup lokal, dan perusahaan global dalam proyek pengembangan drone militer, sistem keamanan siber, serta manajemen data nasional.

    Relasi ini menciptakan dilema akuntabilitas: korporasi teknologi menjadi terlalu penting untuk diatur, namun terlalu kuat untuk dipertanyakan. Ketika negara bergantung pada infrastruktur digital yang dibangun oleh aktor non-negara, kekuasaan teknologi bertransformasi menjadi bentuk semi-kedaulatan (semi-sovereign power) — memiliki otonomi yang nyaris setara dengan negara, tetapi tanpa legitimasi demokratis. Situasi ini menandai munculnya bentuk baru neoteknokrasi militer-sipil, di mana kontrol terhadap ruang publik dijalankan melalui mekanisme teknologi yang dikembangkan oleh entitas privat.

    Implikasi bagi Ruang Publik dan Demokrasi

    Militerisasi teknologi membawa konsekuensi serius bagi ruang publik dan demokrasi. Ketika pengawasan menjadi infrastruktur dasar kehidupan sosial, partisipasi warga tidak lagi bersifat bebas, melainkan bersyarat pada kepatuhan terhadap sistem digital. Ruang publik yang idealnya menjadi arena diskusi dan perbedaan pendapat berisiko tereduksi menjadi ruang yang termoderasi oleh sensor algoritmik dan pengawasan otomatis.

    Dalam konteks Indonesia, hal ini menuntut perhatian serius terhadap tata kelola data publik dan keamanan digital. Integrasi sistem pertahanan dengan infrastruktur sipil, seperti sistem pengamanan keuangan digital nasional (Bank Indonesia, OJK, BI-FAST), harus dirancang dengan prinsip privacy by design, audit algoritmik, dan partisipasi publik dalam pengawasan kebijakan.

    Kemandirian Teknologi dan Arah Etika Publik Indonesia

    Fenomena militerisasi teknologi menandai pergeseran epistemologis dan politis dalam hubungan antara manusia, negara, dan teknologi. Ketika Big Tech dan Defence Tech berkonvergensi, mereka tidak hanya membangun alat baru, tetapi juga membentuk ulang struktur kekuasaan dan norma sosial. Oleh karena itu, strategi pengembangan teknologi nasional—termasuk drone, AI, dan sistem keamanan keuangan—tidak boleh semata-mata berorientasi pada efisiensi dan keamanan, tetapi harus berakar pada etika publik, transparansi, dan partisipasi warga.

    Kebijakan pertahanan digital Indonesia sebaiknya diarahkan pada tiga prinsip utama:

    1. Kedaulatan data nasional, untuk menghindari ketergantungan pada vendor asing.
    2. Transparansi algoritmik dan audit independen, guna menjaga akuntabilitas publik.
    3. Pendidikan etika digital, agar pengembang dan pembuat kebijakan memahami implikasi moral dari desain sistem teknologi.

    Militerisasi teknologi mengaburkan batas antara keamanan dan kebebasan, antara perlindungan dan pengawasan. Dalam konteks Indonesia, kebutuhan akan sistem pertahanan canggih seperti drone otonom dan sistem pengamanan keuangan berbasis AI memang tidak terhindarkan. Namun, pembangunan tersebut harus dilakukan dalam kerangka kedaulatan etis dan demokratis, bukan sekadar kompetisi geopolitik.

    “AI yang kita kembangkan hari ini akan menentukan bagaimana negara memandang risikonya besok. Jika kita membiarkan algoritma yang bias digunakan tanpa pengawasan publik, maka demokrasi bisa tergelincir menjadi otomatisasi kekuasaan.”
    — CEO Uniqu Data Vision

    Tantangan terbesar bukanlah sekadar regulasi teknis, tetapi rekonstruksi etika publik yang menegaskan bahwa keamanan nasional tidak boleh dicapai dengan mengorbankan kebebasan warga. Pertanyaan mendasar tetap sama: siapa yang diawasi, oleh siapa, dan untuk tujuan apa? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan apakah Indonesia membangun masyarakat yang aman—atau sekadar mengawetkan bentuk baru dari kontrol yang tak terlihat.

  • Konvergensi Big Tech dan Defence Tech

    Konvergensi Big Tech dan Defence Tech

    Dalam dua dekade terakhir, batas antara inovasi teknologi sipil dan militer semakin kabur.

    Jika pada masa lalu kemajuan teknologi seperti internet berakar dari riset militer namun kemudian terbuka untuk publik, kini arah pergerakannya tampak berlawanan. Korporasi teknologi besar, yang dulunya menjadi simbol keterbukaan dan akses universal, kini bertransformasi menjadi aktor utama dalam ekosistem pertahanan nasional. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: sejauh mana masyarakat sipil masih memiliki kendali atas teknologi yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari mereka?

    Konvergensi ini bukan sekadar perkembangan ekonomi atau geopolitik, tetapi menandakan pergeseran paradigma: dari teknologi sebagai alat emansipasi menjadi teknologi sebagai instrumen kontrol. Dengan kata lain, militerisasi teknologi tidak hanya memperluas domain perang, tetapi juga memperdalam penetrasi kekuasaan ke dalam tubuh sosial.

    Pengawasan Berkelanjutan dan Ekonomi Data

    Salah satu ciri utama militerisasi teknologi adalah penggabungan logika peperangan dengan mekanisme ekonomi data. Dalam konteks pertahanan modern, keunggulan strategis sangat bergantung pada kemampuan untuk mengumpulkan, memproses, dan menafsirkan data secara real-time. Namun ketika logika ini diterapkan pada ruang sipil, ia menciptakan kondisi pengawasan total yang melampaui kebutuhan keamanan.

    Kasus sistem Lavender yang digunakan di Gaza menggambarkan ekstremnya logika ini: algoritme yang dirancang untuk “mengidentifikasi ancaman” beroperasi dengan skala data yang sedemikian besar hingga setiap individu berpotensi menjadi target. Dalam konteks sipil, pendekatan ini melahirkan rezim pengawasan prediktif—di mana perilaku manusia dipetakan, dikategorikan, dan dinilai berdasarkan norma yang ditentukan oleh kekuasaan dominan. Hasilnya adalah masyarakat yang secara struktural dikondisikan untuk diawasi, bukan dilayani.

    Fenomena ini menciptakan normalisasi pengawasan (surveillance normalization), di mana infrastruktur pengumpulan data diterima sebagai bagian dari kehidupan modern—melalui kamera jalan, perangkat pintar, hingga sistem manajemen kota. Padahal, secara epistemologis, sistem ini menegaskan bahwa keamanan hanya dapat dicapai melalui keterbukaan total warga terhadap pengawasan negara dan korporasi.

    Algoritma, Prediktabilitas, dan Bias Struktural

    Aspek kedua dari militerisasi teknologi terletak pada cara sistem berbasis AI memproduksi realitas sosial melalui keputusan algoritmik. Model machine learning yang digunakan dalam konteks pertahanan sering kali beroperasi sebagai black box: ia memproses data dalam jumlah besar dan menghasilkan keputusan yang sulit ditelusuri asal-usul logikanya. Dalam konteks militer, hal ini dapat berarti penentuan target berdasarkan pola perilaku yang diinterpretasikan secara statistik; dalam konteks sipil, implikasinya jauh lebih luas.

    Ketika logika penargetan ini berpindah ke ruang publik—seperti dalam sistem keamanan kota, pengawasan imigrasi, atau distribusi bantuan sosial—maka bias yang terinternalisasi dalam model akan menentukan siapa yang dianggap “berisiko” atau “menyimpang.” Dalam jangka panjang, hal ini dapat menginstitusionalisasi diskriminasi algoritmik, memperkuat marginalisasi kelompok tertentu berdasarkan ras, agama, atau status sosial ekonomi.

    Selain itu, fenomena bias in use memperlihatkan bahwa sistem AI tidak netral terhadap konteks penggunaannya. Dalam tangan militer, bias algoritmik menjadi bagian dari strategi pertahanan; dalam tangan pemerintah sipil, ia menjadi alat kebijakan publik. Dalam kedua konteks tersebut, keputusan algoritmik menggantikan keputusan etis manusia, menggeser ruang pertimbangan moral ke domain teknokratis yang sulit dipertanggungjawabkan secara demokratis.

    Kompleksitas Relasi Big Tech dan Negara

    Dimensi ketiga dari analisis ini adalah keterkaitan mendalam antara sektor swasta dan negara dalam produksi serta penerapan teknologi pertahanan. Perusahaan seperti Palantir, yang awalnya bekerja untuk kepentingan militer dan intelijen, kini terlibat dalam sistem layanan publik seperti kesehatan, pendidikan, dan bantuan kemanusiaan. Pergeseran ini menunjukkan bahwa infrastruktur pertahanan dan infrastruktur sipil kini dibangun di atas fondasi teknologis yang sama—yakni sistem pengumpulan dan analisis data skala besar.

    Konvergensi ini melahirkan dilema akuntabilitas ganda: perusahaan-perusahaan tersebut terlalu penting untuk diatur, namun terlalu kuat untuk dipertanyakan. Negara bergantung pada mereka untuk keamanan nasional, sementara masyarakat sipil bergantung pada layanan yang mereka sediakan. Akibatnya, kekuasaan teknologi menjadi semi-sovereign—memiliki otonomi yang nyaris setara dengan negara, namun tanpa legitimasi demokratis.

    Fenomena ini dapat dipahami sebagai bentuk baru neoteknokrasi militer-sipil—suatu kondisi di mana kontrol terhadap ruang publik dijalankan melalui mekanisme teknologi yang dikembangkan dan dikelola oleh aktor non-negara. Dalam konteks ini, keamanan dan ekonomi menjadi dua sisi dari koin yang sama: keduanya bergantung pada arsitektur data yang sama dan logika algoritmik yang serupa.

    Implikasi bagi Ruang Publik dan Demokrasi

    Militerisasi teknologi membawa konsekuensi serius bagi ruang publik dan demokrasi. Ketika pengawasan menjadi infrastruktur dasar kehidupan sosial, partisipasi warga tidak lagi bersifat bebas, melainkan bersyarat pada kepatuhan terhadap sistem. Ruang publik—yang seharusnya menjadi arena diskusi dan perbedaan pendapat—berisiko tereduksi menjadi ruang yang termoderasi oleh sensor algoritmik dan pengawasan otomatis.

    Lebih jauh, hubungan antara negara, teknologi, dan warganya mengalami inversi: warga tidak lagi dilayani oleh sistem teknologi, tetapi diukur, diprediksi, dan diklasifikasikan olehnya. Dalam skenario ekstrem, seperti yang tampak dalam integrasi sistem pertahanan dengan data sipil, “keamanan nasional” menjadi pembenaran universal bagi intervensi terhadap privasi individu.

    Dengan demikian, militerisasi teknologi bukan hanya persoalan kebijakan pertahanan, melainkan persoalan etika politik. Ia memaksa kita mempertanyakan ulang makna kebebasan dalam masyarakat digital: apakah kebebasan masih mungkin di bawah kondisi di mana setiap tindakan dikonversi menjadi data, dan setiap data menjadi potensi ancaman?


    Fenomena militerisasi teknologi menandai pergeseran epistemologis dan politis dalam hubungan antara manusia, negara, dan teknologi.

    Ketika Big Tech dan Defence Tech berkonvergensi, mereka tidak hanya membangun alat baru, tetapi juga membentuk ulang struktur kekuasaan dan norma sosial. Tantangan utama ke depan bukan sekadar regulasi teknis, melainkan rekonstruksi etika publik yang menegaskan bahwa keamanan tidak boleh dicapai dengan mengorbankan kebebasan.

    Oleh karena itu, tata kelola teknologi masa depan harus berakar pada transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik. Pertanyaan mendasarnya tetap sama: siapa yang diawasi, oleh siapa, dan untuk tujuan apa? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan apakah kita sedang membangun masyarakat yang aman, atau sekadar mengawetkan bentuk baru dari kontrol yang tak terlihat.

  • Jalan Baru Indonesia Menuju Ekonomi Berdaulat

    Jalan Baru Indonesia Menuju Ekonomi Berdaulat

    Data & Trust

    Di dunia yang makin terhubung tapi juga makin rentan, kedaulatan ekonomi tidak lagi hanya soal produksi dan perdagangan. Ia kini bergantung pada dua hal yang tak kasat mata: data dan kepercayaan. Dan keduanya sedang dipertaruhkan dalam ruang siber global yang tak mengenal batas negara.

    Indonesia, dengan skala ekonomi terbesar di Asia Tenggara, berada di tengah pusaran ini. Serangan siber terhadap sistem finansial global meningkat drastis, sementara dominasi dolar dan platform digital asing terus menekan ruang gerak ekonomi nasional.
    Jika tak bergerak cepat, Indonesia bisa menjadi “koloni digital” — bergantung pada teknologi dan sistem keuangan luar yang bisa dimatikan kapan saja.

    Namun ada arah baru yang mulai muncul: strategi siber dan moneter yang berani, berbasis data berdaulat dan emas nasional.

    Kedaulatan Data: Pertahanan Ekonomi Abad ke-2

    Data kini adalah “emas digital” — dan sama seperti emas, ia harus disimpan di rumah sendiri. Ketergantungan pada cloud asing dan infrastruktur digital global menciptakan risiko serius: data keuangan, pajak, bahkan identitas warga bisa diakses lewat hukum negara lain seperti US Cloud Act.

    Indonesia butuh lompatan: membangun Sovereign Cloud — pusat data nasional yang sepenuhnya dikendalikan negara, dikelola BUMN strategis seperti Telkom atau LEN Industri.
    Dengan itu, informasi vital tak lagi melayang di server asing yang tak bisa disentuh hukum Indonesia.

    Langkah ini bisa menjadi pondasi untuk apa yang disebut “digital non-alignment” — politik luar negeri baru di dunia maya.
    Bukan sekadar menolak dominasi, tapi menegaskan hak digital bangsa. Namun perlindungan data tidak cukup dengan infrastruktur. Diperlukan juga filosofi baru: zero-trust architecture.
    Setiap akses ke data keuangan dan moneter harus diautentikasi tanpa ampun.

    Musuh terbesar bukan selalu di luar, tapi sering ada di dalam.
    Inilah bentuk baru “pertahanan berlapis” di era digital.

    Ketahanan Finansial Melalui Pertahanan Siber

    Sistem keuangan adalah jantung negara. Sekali diserang, efeknya sistemik: pasar lumpuh, transaksi macet, kepercayaan runtuh.
    Serangan terhadap bank sentral atau sistem pembayaran seperti BI-FAST bisa menciptakan chaos nasional.

    Untuk itu, Indonesia perlu membangun Cyber Range Nasional — laboratorium virtual tempat simulasi perang siber finansial dilakukan. Di sana, tim dari BI, OJK, dan bank-bank utama diuji secara rutin dengan serangan red teaming yang meniru peretas sungguhan. Latihan ini bukan hanya teknis, tapi strategis: menguji daya tahan ekonomi terhadap skenario terburuk.

    Langkah penting lainnya: standar kriptografi nasional.
    Selama ini, sektor keuangan Indonesia masih menggunakan algoritma enkripsi dari luar negeri — yang berarti, pintu belakang selalu bisa ada. BSSN dan BI perlu membuat National Cryptographic Standard sendiri. Dengan begitu, komunikasi dan transaksi finansial tak bisa disadap atau dimanipulasi oleh sistem asing.

    Emas dan Ekonomi Digital: Strategi Moneter yang Visioner

    Di tengah ketidakpastian global, emas kembali bersinar — bukan hanya di brankas, tapi di blockchain. Bayangkan jika setiap gram emas cadangan nasional bisa dilacak, diverifikasi, dan dijamin secara digital. Itulah ide digital twin cadangan emas: menciptakan kembaran digital dari setiap batangan emas negara, tersimpan dalam sistem blockchain yang tak bisa diubah. Hasilnya: transparansi total, tanpa celah manipulasi.

    Langkah selanjutnya bisa lebih revolusioner: menciptakan Rupiah Digital berbasis emas. Bukan mata uang kripto spekulatif, tapi sovereign digital currency — dijamin oleh cadangan emas fisik Bank Indonesia. Dengan model ini, 1 unit Rupiah Digital bisa mewakili nilai tertentu dari emas nyata. Hasilnya bukan hanya kestabilan nilai, tapi juga kepercayaan publik dan internasional yang lebih kuat terhadap Rupiah.

    Lebih jauh, sistem ini bisa memperkuat inklusi keuangan desa.
    Melalui platform “Lumbung Digital Desa,” mata uang digital berbasis emas bisa disalurkan langsung ke BUMDes, koperasi, dan UMKM desa. Setiap transaksi tercatat dalam blockchain nasional, meminimalkan korupsi dan memastikan akuntabilitas dari pusat hingga pelosok. Ini bukan utopia. Ini fintech nasionalisme — inovasi finansial yang berpihak pada rakyat, bukan pasar global.

    Tantangan dan Momentum

    Tentu saja, strategi sebesar ini akan memancing resistensi.
    Kekuatan moneter global seperti AS dan Uni Eropa takkan diam melihat negara berkembang membangun sistem alternatif berbasis emas. Ada juga tantangan teknis: dari kesiapan SDM siber, biaya infrastruktur, hingga koordinasi antarlembaga seperti BI, Kemenkeu, Kominfo, dan BSSN.

    Namun, sejarah menunjukkan: kedaulatan tidak diberikan, ia harus dibangun. Dan di abad digital ini, bentuknya bukan hanya pangkalan militer atau tambang minyak, tapi data center, enkripsi nasional, dan blockchain berdaulat.

    Dari Siber ke Emas — Menuju Kemandirian Ekonomi Digital

    Indonesia sedang di persimpangan. Di satu sisi, dunia menawarkan kemudahan melalui teknologi global. Di sisi lain, kedaulatan menuntut pengorbanan: membangun sendiri, mengamankan sendiri, mengatur sendiri.

    Namun jika Indonesia berani mengambil langkah menuju ekonomi berbasis kedaulatan data dan emas digital, dunia akan menyaksikan kebangkitan model baru — model yang tidak tunduk pada dolar, tidak dikendalikan algoritma asing, dan tidak tergantung pada awan digital negara lain.

    Itulah masa depan kedaulatan yang sebenarnya: bukan hanya merdeka secara politik, tapi berdaulat secara digital dan moneter.

  • Soemitronomics: Jalan Tengah Ekonomi Indonesia di Era Digital

    Soemitronomics: Jalan Tengah Ekonomi Indonesia di Era Digital

    Konsep Soemitronomics kini kembali menjadi bahan pembicaraan dalam dunia ekonomi Indonesia. Berakar dari pemikiran Prof. Soemitro Djojohadikusumo, salah satu arsitek ekonomi modern Indonesia, gagasan ini dihidupkan kembali oleh Dr. Purbaya Yudhi Sadewa sebagai strategi pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, inklusif, dan berdaulat. Soemitronomics tidak hanya menawarkan teori, tetapi juga kerangka strategis tentang bagaimana Indonesia dapat tumbuh maju tanpa kehilangan jati diri. Ia bertumpu pada tiga pilar utama: pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pemerataan hasil pembangunan, dan stabilitas nasional yang dinamis. Ketiganya menjadi fondasi bagi ekonomi yang produktif, adil, dan tangguh menghadapi perubahan global.

    Dalam pilar pertama, Soemitronomics menekankan pentingnya pertumbuhan ekonomi yang bersumber dari sektor riil, bukan dari konsumsi semata. Soemitro sejak awal mengingatkan bahwa Indonesia tidak boleh puas hanya menjadi pasar bagi produk luar negeri. Purbaya mengembangkan gagasan itu dengan mendorong hilirisasi industri dan transformasi digital agar Indonesia tidak lagi hanya mengekspor bahan mentah, tetapi mampu menghasilkan produk bernilai tambah tinggi. Pertumbuhan yang diinginkan bukan sekadar kenaikan angka PDB, melainkan kemajuan yang menggerakkan pabrik, memperluas lapangan kerja, dan memperkuat daya saing nasional. Inilah esensi dari ekonomi produktif, bukan konsumtif—pertumbuhan yang menjadi dasar kemandirian, bukan ketergantungan.

    Pilar kedua berbicara tentang pemerataan manfaat pembangunan. Soemitro pernah mengkritik keras model ekonomi liberal yang hanya menguntungkan segelintir elit, sementara mayoritas masyarakat tertinggal. Bagi Purbaya, pesan ini semakin relevan di era digital. Pertumbuhan tanpa pemerataan hanya akan memperdalam jurang sosial. Karena itu, Soemitronomics menuntut agar manfaat pembangunan dirasakan oleh semua lapisan masyarakat. Wujud nyatanya bisa berupa penguatan UMKM dan koperasi digital, integrasi sektor informal ke dalam ekonomi formal, serta pengembangan ekosistem keuangan inklusif berbasis teknologi. Purbaya juga membuka peluang bagi inovasi seperti gold-backed tokens atau sistem Dinar Desa, yang memadukan kearifan lokal dengan teknologi finansial modern. Prinsipnya jelas: teknologi harus memperluas keadilan, bukan memperlebar ketimpangan.

    Sementara itu, pilar ketiga yaitu stabilitas nasional yang dinamis menekankan pentingnya keseimbangan antara kebijakan fiskal, moneter, dan sosial. Bagi Soemitro dan Purbaya, stabilitas bukan berarti stagnasi, melainkan kemampuan sistem ekonomi beradaptasi dengan perubahan tanpa kehilangan arah nasionalnya. Soemitronomics menolak ketergantungan berlebihan pada utang luar negeri dan spekulasi pasar. Sebaliknya, ia menekankan pentingnya memperkuat cadangan devisa, mengoptimalkan aset domestik seperti emas dan sumber daya alam, serta mewujudkan kemandirian pangan dan energi. Dalam konteks modern, pendekatan ini bisa diterjemahkan melalui sistem keuangan digital berbasis aset riil, di mana teknologi dan penjaminan emas digunakan untuk menjaga stabilitas nilai rupiah sekaligus memperluas partisipasi publik dalam investasi yang aman dan berkelanjutan.

    Sebagai penerus pemikiran Soemitro, Dr. Purbaya Yudhi Sadewa memandang Soemitronomics sebagai jalan tengah antara idealisme nasional dan pragmatisme global. Sebagai ekonom yang pernah menjabat di berbagai posisi strategis—dari Deputi di Kementerian Koordinator Perekonomian, Kepala Badan Kebijakan Fiskal, hingga Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)—Purbaya melihat bahwa Indonesia kini berada di persimpangan: antara keterbukaan ekonomi global dan kebutuhan memperkuat kedaulatan nasional. Melalui Soemitronomics, ia berupaya menegaskan kembali arah ekonomi Indonesia agar tidak hanya bergantung pada mekanisme pasar, tetapi juga diperkuat oleh intervensi negara yang cerdas dan berbasis data. Ia menyoroti bahwa ekonomi Indonesia yang tumbuh stabil masih menyimpan masalah klasik seperti ketimpangan, ketergantungan impor, dan rendahnya produktivitas sektor riil. Soemitronomics versi Purbaya hadir sebagai strategi jangka panjang untuk mengatasi distorsi struktural tersebut.

    Penerapan nyata konsep ini mulai terlihat setelah krisis pandemi COVID-19. Saat banyak negara bergantung pada pinjaman luar negeri, Purbaya justru mengambil langkah tidak konvensional dengan menggerakkan dana pemerintah yang menganggur di perbankan agar kembali mengalir ke sektor produktif. Langkah ini mencerminkan semangat Soemitro: memanfaatkan kekuatan dalam negeri sebelum mencari sumber eksternal. Selain itu, ia mendorong hilirisasi industri dan transformasi digital sebagai motor pertumbuhan baru, menggabungkan semangat nasionalisme ekonomidengan inovasi era industri 4.0. Dengan cara itu, Soemitronomics bukan lagi sekadar doktrin ekonomi klasik, tetapi menjadi sistem yang adaptif terhadap zaman digital.

    Secara filosofis, Soemitronomics menolak dikotomi lama antara proteksionisme dan liberalisme. Ia mengusung prinsip ekonomi berdaulat yang tetap terbuka terhadap inovasi. Negara bukan penghambat pasar, melainkan fasilitator dan penyeimbang yang memastikan efisiensi berjalan seiring dengan keadilan sosial. Di bawah kerangka ini, sektor keuangan berperan bukan hanya sebagai penyalur dana, tetapi juga sebagai penggerak transformasi ekonomi nasional. Soemitronomics menuntut agar setiap kebijakan—baik fiskal maupun moneter—selalu berpihak pada produktivitas, stabilitas, dan kesejahteraan rakyat.

    Apabila paradigma ini diterapkan secara konsisten, Indonesia berpotensi mengalami pergeseran struktural menuju ekonomi berbasis nilai tambah dan keseimbangan sosial. Dalam dua dekade ke depan, arah kebijakan ini dapat menuntun Indonesia menjadi negara industri maju dengan karakter khas: produktif secara ekonomi, adil secara sosial, dan stabil secara politik. Hilirisasi industri, inklusi keuangan digital, serta investasi berbasis emas dan aset riil akan memperkuat fondasi ekonomi nasional menghadapi guncangan global. Dengan dukungan kebijakan fiskal yang efisien, pendidikan teknologi yang kuat, dan tata kelola pemerintahan yang transparan, Indonesia dapat mencapai pertumbuhan berkelanjutan di kisaran enam hingga delapan persen tanpa mengorbankan pemerataan kesejahteraan.

    Namun keberhasilan Soemitronomics versi Purbaya sangat bergantung pada komitmen politik lintas pemerintahan dan keberlanjutan reformasi kelembagaan. Tanpa konsistensi, konsep besar ini bisa kembali menjadi sekadar wacana. Tetapi jika dijalankan dengan disiplin dan visi jangka panjang, Soemitronomics dapat menjadikan Indonesia contoh negara berkembang yang berhasil keluar dari middle-income trap melalui pembangunan ekonomi yang berkeadilan. Sebagaimana diingatkan Soemitro puluhan tahun lalu, “ekonomi bukan sekadar alat untuk memperkaya negara, tetapi untuk memerdekakan manusia Indonesia.” Melalui semangat itu, Purbaya mengembalikan Soemitronomics ke makna aslinya: sebagai ide besar tentang kemandirian bangsa di tengah dunia yang terus berubah cepat—berpijak pada nilai, ilmu, dan keberanian untuk berinovasi.