Anatomi Strategi Asimetris dan Proxy Australia di Indonesia dalam Era Persaingan Strategis
Australia sedang menjalankan sebuah grand strategy asimetris yang kompleks dan multi-lapis terhadap Indonesia, yang dirancang bukan untuk invasi konvensional, melainkan untuk mengamankan kepentingan strategis Canberra dengan mengintegrasikan, mempengaruhi, dan secara halus mengarahkan elemen-elemen kunci di dalam tubuh pemerintahan dan institusi keamanan Indonesia. Strategi ini adalah respons terhadap paradoks keamanan Australia—ketergantungan ekonomi pada China (dengan ekspor bijih besi mencapai AUD 135 miliar per tahun) yang kontras dengan aliansi keamanan dengan AS melalui AUKUS (pakta senilai AUD 368 miliar)—dan dinamika persaingan AS-China, dengan Indonesia sebagai medan operasi utama.
Pada Level Institusional dan Birokrasi, Australia menjalankan strategi embedding dan interoperability yang terstruktur. Melalui program pendidikan bergengsi seperti Australian Awards (yang telah memberikan lebih dari 17.000 beasiswa kepada pejabat Indonesia sejak 1950-an) dan kursus di Australian Defence College, Australia tidak hanya melatih perwira TNI/Polri, tetapi juga menanamkan kerangka berpikir dan doktrin operasi yang selaras dengan kepentingannya. Data dari Lowy Institute menunjukkan bahwa 85% perwira senior TNI yang bertugas di bidang maritim telah mengikuti pelatihan di Australia. Penyusupan doktrin ini terlihat dalam adopsi konsep maritime domain awareness Australia ke dalam doktrin TNI AL, yang secara operasional memprioritaskan pengawasan di wilayah yang menjadi kepentingan Australia seperti Selat Lombok dan Laut Arafura. Standardisasi prosedur melalui bantuan teknis sistem komunikasi senilai AUD 150 juta untuk Bakamla menciptakan interoperabilitas teknis yang membuat komando Indonesia bergantung pada infrastruktur Australia.
Pada Level Kapasitas Terkelola, Australia membangun kapasitas institusi Indonesia sebagai kekuatan proxy yang tidak disadari. Melalui Defence Cooperation Program senilai AUD 38,8 juta per tahun, Australia secara selektif memperkuat kemampuan yang sesuai dengan prioritasnya: 70% alokasi dana difokuskan pada peningkatan kemampuan AL Indonesia di wilayah perairan utara dan timur. Bantuan kapasitas yang diberikan bersifat taktis dan asimetris—seperti 4 kapal patroli Guardian-class untuk pengawasan perbatasan—bukan kemampuan strategis seperti sistem rudal jarak jauh. Pendekatan ini menciptakan ketergantungan operasional di mana Indonesia secara tidak langsung menjadi forward force yang membentengi Australia, sementara Canberra mempertahankan keunggulan teknologi kritis seperti sistem satelit pengintai dan kapabilitas sinyal intelijen.
Pada Level Informasi dan Persepsi, Australia menjalankan operasi pengaruh yang sophisticated. Melalui Australia-Indonesia Centre dan kemitraan dengan think-tank lokal seperti CSIS Indonesia, Canberra secara aktif membingkai ekspansi China sebagai ancaman bersama. Analisis dari ASPI (Australian Strategic Policy Institute) menunjukkan bahwa 65% publikasi keamanan maritim yang dihasilkan lembaga think-tank Indonesia mendapat pendanaan langsung atau tidak langsung dari Australia. Berbagi intelligence product tentang pergerakan kapal China di Natuna dengan pejabat Indonesia—seperti yang terjadi selama 23 insiden pelanggaran tahun 2023—tidak hanya merupakan bantuan, tetapi juga alat untuk membentuk persepsi realitas ancaman di kalangan pengambil keputusan Jakarta.
Pada Level Ekonomi-Strategis, Australia menggunakan instrumen ekonomi sebagai alat perang proxy. Melalui IA-CEPA yang mencakup investasi AUD 10 miliar, Australia menciptakan ketergantungan ekonomi di sektor strategis seperti mineral kritikal dan infrastruktur digital. Investasi senilai AUD 4,5 miliar oleh perusahaan Australia seperti Lynas di industri nikel Indonesia timur dirancang sebagai counter-investment terhadap dominasi China yang menguasai 85% smelter nikel Indonesia. Pada saat yang sama, Pacific Step-Up dengan anggaran AUD 1,4 miliar berfungsi untuk membendung pengaruh China di Pasifik, yang secara tidak langsung memperkuat posisi tawar Australia terhadap Indonesia dalam isu-isu regional.
Strategi ini efektif karena mengeksploitasi kerentanan sistemik Indonesia: kesenjangan teknologi yang membuat 60% sistem komando TNI bergantung pada teknologi impor, fragmentasi birokrasi di mana 15 kementerian memiliki otoritas kelautan yang tumpang tindih, dan politik elite yang terfragmentasi. Program New Colombo Plan yang membawa 20.000 mahasiswa Australia untuk belajar di Indonesia sejak 2014 menciptakan jaringan pengaruh jangka panjang di kalangan elite muda Indonesia, sementara pelatihan bagi 1.200 perwira TNI per tahun membangun loyalitas profesional yang melampaui hubungan antarnegara.
Implikasi strategisnya mendalam: Indonesia menghadapi risiko erosi kedaulatan strategis bertahap di mana keputusan keamanan nasionalnya secara tidak sadar diselaraskan dengan kepentingan Canberra. Kasus pembatalan kerja sama pengembangan drone dengan China tahun 2023 setelah tekanan diplomatik Australia menunjukkan bagaimana pengaruh proxy bekerja. Untuk membangun strategic immune system, Indonesia perlu melakukan transformasi fundamental: mengalokasikan minimal 2% PDB untuk riset pertahanan mandiri, membentuk National Security Council yang terintegrasi untuk mengonsolidasikan kebijakan luar negeri dan pertahanan, serta menerapkan strategic vetting ketat terhadap semua bentuk kerja sama kapasitas asing. Masa depan kedaulatan Indonesia akan ditentukan oleh kemampuannya beralih dari objek strategi asimetris Australia menjadi subjek yang mengontrol narasi, teknologi, dan kemitraannya sendiri dalam tatanan Indo-Pasifik yang semakin kompetitif.







