Konvergensi Big Tech dan Defence Tech

Dalam dua dekade terakhir, batas antara inovasi teknologi sipil dan militer semakin kabur.

Jika pada masa lalu kemajuan teknologi seperti internet berakar dari riset militer namun kemudian terbuka untuk publik, kini arah pergerakannya tampak berlawanan. Korporasi teknologi besar, yang dulunya menjadi simbol keterbukaan dan akses universal, kini bertransformasi menjadi aktor utama dalam ekosistem pertahanan nasional. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: sejauh mana masyarakat sipil masih memiliki kendali atas teknologi yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari mereka?

Konvergensi ini bukan sekadar perkembangan ekonomi atau geopolitik, tetapi menandakan pergeseran paradigma: dari teknologi sebagai alat emansipasi menjadi teknologi sebagai instrumen kontrol. Dengan kata lain, militerisasi teknologi tidak hanya memperluas domain perang, tetapi juga memperdalam penetrasi kekuasaan ke dalam tubuh sosial.

Pengawasan Berkelanjutan dan Ekonomi Data

Salah satu ciri utama militerisasi teknologi adalah penggabungan logika peperangan dengan mekanisme ekonomi data. Dalam konteks pertahanan modern, keunggulan strategis sangat bergantung pada kemampuan untuk mengumpulkan, memproses, dan menafsirkan data secara real-time. Namun ketika logika ini diterapkan pada ruang sipil, ia menciptakan kondisi pengawasan total yang melampaui kebutuhan keamanan.

Kasus sistem Lavender yang digunakan di Gaza menggambarkan ekstremnya logika ini: algoritme yang dirancang untuk “mengidentifikasi ancaman” beroperasi dengan skala data yang sedemikian besar hingga setiap individu berpotensi menjadi target. Dalam konteks sipil, pendekatan ini melahirkan rezim pengawasan prediktif—di mana perilaku manusia dipetakan, dikategorikan, dan dinilai berdasarkan norma yang ditentukan oleh kekuasaan dominan. Hasilnya adalah masyarakat yang secara struktural dikondisikan untuk diawasi, bukan dilayani.

Fenomena ini menciptakan normalisasi pengawasan (surveillance normalization), di mana infrastruktur pengumpulan data diterima sebagai bagian dari kehidupan modern—melalui kamera jalan, perangkat pintar, hingga sistem manajemen kota. Padahal, secara epistemologis, sistem ini menegaskan bahwa keamanan hanya dapat dicapai melalui keterbukaan total warga terhadap pengawasan negara dan korporasi.

Algoritma, Prediktabilitas, dan Bias Struktural

Aspek kedua dari militerisasi teknologi terletak pada cara sistem berbasis AI memproduksi realitas sosial melalui keputusan algoritmik. Model machine learning yang digunakan dalam konteks pertahanan sering kali beroperasi sebagai black box: ia memproses data dalam jumlah besar dan menghasilkan keputusan yang sulit ditelusuri asal-usul logikanya. Dalam konteks militer, hal ini dapat berarti penentuan target berdasarkan pola perilaku yang diinterpretasikan secara statistik; dalam konteks sipil, implikasinya jauh lebih luas.

Ketika logika penargetan ini berpindah ke ruang publik—seperti dalam sistem keamanan kota, pengawasan imigrasi, atau distribusi bantuan sosial—maka bias yang terinternalisasi dalam model akan menentukan siapa yang dianggap “berisiko” atau “menyimpang.” Dalam jangka panjang, hal ini dapat menginstitusionalisasi diskriminasi algoritmik, memperkuat marginalisasi kelompok tertentu berdasarkan ras, agama, atau status sosial ekonomi.

Selain itu, fenomena bias in use memperlihatkan bahwa sistem AI tidak netral terhadap konteks penggunaannya. Dalam tangan militer, bias algoritmik menjadi bagian dari strategi pertahanan; dalam tangan pemerintah sipil, ia menjadi alat kebijakan publik. Dalam kedua konteks tersebut, keputusan algoritmik menggantikan keputusan etis manusia, menggeser ruang pertimbangan moral ke domain teknokratis yang sulit dipertanggungjawabkan secara demokratis.

Kompleksitas Relasi Big Tech dan Negara

Dimensi ketiga dari analisis ini adalah keterkaitan mendalam antara sektor swasta dan negara dalam produksi serta penerapan teknologi pertahanan. Perusahaan seperti Palantir, yang awalnya bekerja untuk kepentingan militer dan intelijen, kini terlibat dalam sistem layanan publik seperti kesehatan, pendidikan, dan bantuan kemanusiaan. Pergeseran ini menunjukkan bahwa infrastruktur pertahanan dan infrastruktur sipil kini dibangun di atas fondasi teknologis yang sama—yakni sistem pengumpulan dan analisis data skala besar.

Konvergensi ini melahirkan dilema akuntabilitas ganda: perusahaan-perusahaan tersebut terlalu penting untuk diatur, namun terlalu kuat untuk dipertanyakan. Negara bergantung pada mereka untuk keamanan nasional, sementara masyarakat sipil bergantung pada layanan yang mereka sediakan. Akibatnya, kekuasaan teknologi menjadi semi-sovereign—memiliki otonomi yang nyaris setara dengan negara, namun tanpa legitimasi demokratis.

Fenomena ini dapat dipahami sebagai bentuk baru neoteknokrasi militer-sipil—suatu kondisi di mana kontrol terhadap ruang publik dijalankan melalui mekanisme teknologi yang dikembangkan dan dikelola oleh aktor non-negara. Dalam konteks ini, keamanan dan ekonomi menjadi dua sisi dari koin yang sama: keduanya bergantung pada arsitektur data yang sama dan logika algoritmik yang serupa.

Implikasi bagi Ruang Publik dan Demokrasi

Militerisasi teknologi membawa konsekuensi serius bagi ruang publik dan demokrasi. Ketika pengawasan menjadi infrastruktur dasar kehidupan sosial, partisipasi warga tidak lagi bersifat bebas, melainkan bersyarat pada kepatuhan terhadap sistem. Ruang publik—yang seharusnya menjadi arena diskusi dan perbedaan pendapat—berisiko tereduksi menjadi ruang yang termoderasi oleh sensor algoritmik dan pengawasan otomatis.

Lebih jauh, hubungan antara negara, teknologi, dan warganya mengalami inversi: warga tidak lagi dilayani oleh sistem teknologi, tetapi diukur, diprediksi, dan diklasifikasikan olehnya. Dalam skenario ekstrem, seperti yang tampak dalam integrasi sistem pertahanan dengan data sipil, “keamanan nasional” menjadi pembenaran universal bagi intervensi terhadap privasi individu.

Dengan demikian, militerisasi teknologi bukan hanya persoalan kebijakan pertahanan, melainkan persoalan etika politik. Ia memaksa kita mempertanyakan ulang makna kebebasan dalam masyarakat digital: apakah kebebasan masih mungkin di bawah kondisi di mana setiap tindakan dikonversi menjadi data, dan setiap data menjadi potensi ancaman?


Fenomena militerisasi teknologi menandai pergeseran epistemologis dan politis dalam hubungan antara manusia, negara, dan teknologi.

Ketika Big Tech dan Defence Tech berkonvergensi, mereka tidak hanya membangun alat baru, tetapi juga membentuk ulang struktur kekuasaan dan norma sosial. Tantangan utama ke depan bukan sekadar regulasi teknis, melainkan rekonstruksi etika publik yang menegaskan bahwa keamanan tidak boleh dicapai dengan mengorbankan kebebasan.

Oleh karena itu, tata kelola teknologi masa depan harus berakar pada transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik. Pertanyaan mendasarnya tetap sama: siapa yang diawasi, oleh siapa, dan untuk tujuan apa? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan apakah kita sedang membangun masyarakat yang aman, atau sekadar mengawetkan bentuk baru dari kontrol yang tak terlihat.

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *