Narasi tentang “pergeseran sunyi” kekuatan global memiliki dasar empiris yang kuat dalam Teori Transisi Demografi dan pengembangan model pertumbuhan neoklasik modern. Teori Transisi Demografi menunjukkan pola perubahan universal dari rezim kelahiran dan kematian tinggi menuju rezim keduanya rendah. Dalam proses ini, penurunan mortalitas mendahului penurunan fertilitas sehingga menciptakan ledakan penduduk muda. Perbedaan mendasar abad ke-21 terletak pada kecepatan transisi. Korea Selatan menurunkan Tingkat Fertilitas Total dari 6,1 pada 1960 menjadi 1,7 pada 1990 hanya dalam tiga dekade, sementara Inggris membutuhkan hampir satu abad untuk perubahan serupa. Percepatan ini membuat negara berkembang modern tidak memperoleh periode panjang untuk membangun sistem jaminan sosial dan infrastruktur ekonomi sebelum memasuki fase penuaan penduduk.
Model pertumbuhan neoklasik yang telah dimodifikasi memperkuat gambaran ini. Berbeda dengan model Solow standar yang menganggap pertumbuhan populasi sebagai variabel tunggal tanpa struktur usia, penelitian mutakhir memisahkan pertumbuhan populasi usia kerja dari populasi total. Rasio usia kerja tidak lagi dianggap netral bagi pertumbuhan, melainkan berfungsi sebagai penentu langsung output dan keputusan investasi. Dalam model tersebut, penyusutan rasio usia kerja bertindak seperti guncangan teknologi negatif yang persisten. Penurunan input tenaga kerja per kapita menekan output secara langsung, yang terlihat pada pengalaman Jepang ketika rasio usia kerja turun dari 69,7 persen pada 1992 menjadi 59,4 persen pada 2022. Dampak tidak langsung muncul melalui turunnya insentif investasi. Ketika prospek pertumbuhan tenaga kerja melemah, perusahaan enggan melakukan ekspansi modal jangka panjang. Studi di negara OECD menunjukkan bahwa peningkatan satu persen rasio ketergantungan usia tua berkaitan dengan penurunan hingga satu persen dalam tingkat investasi domestik bruto. Kombinasi ini menciptakan perlambatan pertumbuhan potensial yang kontinu.
Proyeksi European Bank for Reconstruction and Development tahun 2025 mengonversi mekanisme konseptual tersebut menjadi estimasi kuantitatif. Dengan menggabungkan model neoklasik dan proyeksi populasi PBB, penelitian itu memperkirakan bahwa penuaan populasi akan menurunkan pertumbuhan tahunan PDB per kapita di Eropa Timur rata rata 0,36 poin persen hingga 2050. Jika suatu negara memiliki potensi pertumbuhan tiga persen, maka laju aktual bergerak turun menjadi 2,64 persen. Dalam rentang dua puluh enam tahun, selisih itu membuat PDB per kapita sekitar 9,5 persen lebih rendah dibanding skenario tanpa penuaan penduduk. Dampak terbesar terjadi di negara seperti Bulgaria dan Serbia yang tidak hanya menua, tetapi juga kehilangan penduduk produktif akibat emigrasi.
Analisis demografi ekonomi global dapat dipetakan dalam tiga jalur utama. Jalur pertama mencakup negara penuaan lanjut yang terjebak dalam kondisi tua sebelum kaya. Banyak negara Eropa Timur memiliki rasio ketergantungan tinggi setara Jerman, tetapi PDB per kapita hanya separuhnya. Penyusutan populasi usia kerja hingga seperempat pada 2050 menekan kapasitas fiskal karena biaya pensiun yang sudah mencapai dua digit persentase PDB. Jalur kedua mencakup negara dengan jendela bonus demografi yang menutup cepat. Thailand dan Vietnam mengalami transisi fertilitas yang sangat cepat sehingga masa bonus demografi mereka jauh lebih singkat daripada negara maju historis. Rasio usia kerja menyusut dalam satu sampai dua dekade sehingga mereka harus memadatkan pembangunan industri, pendidikan, dan infrastruktur dalam waktu yang terbatas. Jalur ketiga mencakup negara dengan dividen demografi besar seperti Indonesia dan India yang memiliki populasi muda besar tetapi produktivitas rendah, dominasi sektor informal, dan transformasi struktural yang lambat. Tantangan utama kelompok ini adalah menciptakan pekerjaan bernilai tambah tinggi dalam jumlah besar sambil memperbaiki kualitas sumber daya manusia.
Dalam konteks tersebut, Indonesia berada di persimpangan Jalur kedua dan ketiga. Rasio ketergantungan akan mencapai titik terendah sekitar 2030 sampai 2035, tetapi penurunan fertilitas yang cepat membuat jendela ini menutup lebih awal dari perkiraan. Populasi lanjut usia diproyeksikan naik dua kali lipat dalam tiga dekade, lebih cepat daripada ritme negara maju masa lalu. Dengan PDB per kapita yang masih berada pada tingkat menengah, Indonesia menghadapi risiko memasuki fase penuaan sebelum mencapai kekuatan ekonomi yang memadai. Tantangan utamanya adalah rendahnya produktivitas dan dominasi ekonomi informal. Lebih dari separuh tenaga kerja Indonesia bekerja di sektor informal tanpa jaminan sosial dan produktivitas rata rata jauh lebih rendah dibanding standar negara maju. Hanya sebagian kecil pencari kerja baru yang terserap oleh sektor formal setiap tahun, sementara hasil asesmen pendidikan menunjukkan masih rendahnya kompetensi numerik dan literasi generasi muda.
Walaupun demikian, Indonesia memiliki peluang strategis untuk memanfaatkan jendela demografis melalui tiga jembatan transformasi. Jembatan pertama menargetkan peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan vokasi yang relevan, perbaikan kesehatan masyarakat, dan pengurangan stunting yang masih tinggi. Jembatan kedua menekankan transformasi ekonomi dari sektor informal dan agraris menuju industri dan jasa bernilai tambah tinggi melalui hilirisasi dan digitalisasi. Jembatan ketiga menekankan penguatan kapasitas produksi dan inovasi nasional dengan mendorong investasi riset, peningkatan kandungan lokal industri, dan pemanfaatan pasar domestik sebagai fondasi ekspansi global. Jika dijalankan secara konsisten, ketiga jembatan ini dapat meningkatkan pertumbuhan potensial ekonomi secara berkelanjutan.
Rekomendasi kebijakan untuk Indonesia terdiri dari dua paket utama. Paket pertama dirancang untuk menghadapi jendela demografi yang menutup cepat melalui peningkatan efisiensi logistik, reformasi pendidikan vokasi, dan pendalaman pasar keuangan. Paket kedua diarahkan pada penguatan dividen demografi melalui reformasi agraria produktif, industrialisasi pedesaan, penguatan layanan kesehatan dasar, dan reformasi tata kelola yang meningkatkan kepastian usaha. Kedua paket ini saling menguatkan dan harus dilaksanakan secara bertahap dalam rentang waktu sepuluh hingga lima belas tahun ke depan. Tahap awal difokuskan pada perbaikan cepat dalam perizinan, pendidikan vokasi, dan sertipikasi lahan. Tahap berikutnya memperluas pembangunan infrastruktur dan industrialisasi. Tahap akhir menekankan konsolidasi kualitas pelayanan publik dan tata kelola.
Pemenang ekonomi global abad ke-21 adalah negara yang mampu mengubah struktur usia menjadi struktur kapabilitas ekonomi. Negara lanjut usia hanya dapat bertahan melalui inovasi dan otomatisasi. Negara dengan jendela yang sempit harus bergerak cepat. Negara dengan populasi muda besar harus memastikan kualitas dan produktivitas yang memadai. Indonesia dapat menjadi contoh transformasi tersebut jika berhasil menjalankan revolusi keterampilan, melompat ke frontier produktivitas, dan membangun tata kelola digital yang efisien. Keberhasilan ini akan menentukan apakah bonus demografi berubah menjadi batu loncatan menuju produktivitas tinggi atau menjadi beban struktural saat penuaan mulai mendominasi. Dalam rentang satu sampai dua dekade ke depan, arah kebijakan akan menentukan posisi Indonesia dalam percaturan peradaban ekonomi abad ke-21.


Tinggalkan Balasan