Perjalanan Jiwa Menuju Hakikat Cahaya Ilahi

ASAL-USUL CAHAYA: JANJI ALASTU DI ALAM RUH

Di dalam keheningan yang tidak mengenal ruang dan waktu, sebelum gunung pertama ditegakkan dan sebelum bintang pertama menyala, jiwa manusia pernah berdiri di hadapan Tuhan dalam suatu perjumpaan primordial. Al-Qur’an menyebut momen itu sebagai Mītsāq al-Alast, ketika Allah bertanya: “Alastu bi Rabbikum?”“Bukankah Aku ini Tuhanmu?” (QS Al-A‘raf 7:172). Pada saat itu, semua jiwa menjawab dengan satu suara yang jernih, tanpa ragu, tanpa berjarak: “Balā, syahidn┓Betul, Engkau Tuhan kami. Kami bersaksi.” Dalam cahaya ketauhidan yang murni itu, jiwa mengenal asalnya. Ia diciptakan dari pancaran rahmat dan digenggam oleh kasih sayang Ilahi. Di alam itu, tidak ada kegelisahan, tidak ada lupa, tidak ada nestapa. Yang ada hanya kedekatan, kejelasan, dan kemurnian hubungan antara makhluk dan Penciptanya. Itulah awal perjalanan, dan juga tujuan akhir yang kelak akan dicari kembali di dunia.

Namun, jiwa tidak diciptakan untuk tinggal selamanya dalam kedamaian itu. Ia diturunkan ke bumi sebagai bagian dari sunnatullah dalam penciptaan manusia: menjadi khalifah, memikul amanah, menyempurnakan ujian. Maka, jiwa turun dari wilayah cahaya menuju hamparan bumi yang penuh tabir dan tirai. Al-Qur’an menggambarkan proses ini sebagai perpindahan dari keadaan fī ahsani taqwīm (QS At-Tin 95:4), bentuk terbaik penciptaan, menuju arena di mana manusia akan diuji dengan kelupaan, hawa nafsu, dan godaan dunia. Saat turun, cahaya fitrah dalam diri tetap ikut serta—seperti pelita kecil yang Tuhan titipkan—namun pelita itu diselimuti kabut pengalaman, trauma, ambisi, dan kelalaian yang akan dialami manusia.

Ketika memasuki dunia, jiwa seperti bayi yang menangis bukan hanya karena cahaya dunia terlalu terang, tetapi juga karena ia merasakan jarak yang baru: jarak dari asal-muasalnya. Nabi bersabda bahwa setiap manusia lahir dalam keadaan fitrah (HR Muslim), sebuah resonansi dari kesucian di alam ruh. Namun fitrah itu belum stabil; ia terancam oleh lingkungan, kondisi, dan godaan yang akan memalingkan jiwa dari cahaya asalnya. Maka sejak awal kehidupan, manusia membawa kerinduan yang samar—kerinduan yang tidak bisa dipuaskan oleh materi, gelar, cinta, atau jabatan. Kerinduan ini adalah gema dari jawaban “Balā, syahidnā,” gema dari janji yang pernah diucapkan kepada Sang Pencipta.

Jiwa kemudian tumbuh dan berjalan melalui kehidupan duniawi, terpapar gejolak naluri dan bisikan hawa nafsu. Al-Qur’an menggambarkan keadaan ini sebagai masuk ke dalam “kegelapan bertingkat-tingkat” (QS An-Nur 24:40): kegelapan lupa, kegelapan ego, kegelapan kesombongan, kegelapan syahwat, dan kegelapan rasa diri yang terputus dari Tuhan. Dalam perjalanan itulah, pelita fitrah sering kali redup—bukan padam, tetapi tersembunyi. Di antara hiruk pikuk dunia, cahaya asal jiwa merintih lirih, mencari jalan pulang.

Namun Allah tidak membiarkan jiwa berjalan sendirian. Dia menurunkan kitab-kitab sebagai cahaya penuntun, mengutus para nabi sebagai cermin kemurnian, dan meniupkan ilham ke dalam hati sebagai pengingat. Al-Qur’an menyatakan dengan tegas: “Allah adalah Pelindung orang-orang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya.” (QS Al-Baqarah 2:257). Frasa ini bukan sekadar struktur linguistik, tetapi inti perjalanan manusia. Hidup bukan sekadar rentang waktu antara lahir dan mati, tetapi perpindahan bertahap dari tabir menuju penglihatan, dari kelupaan menuju ingatan, dari kabut menuju kejernihan.

Bab pertama ini adalah permulaan dari kisah besar jiwa: kisah tentang asal-usul cahayanya, tentang janji primordialnya, dan tentang tugas spiritual yang telah diberikan kepadanya bahkan sebelum ia mengenal dunia. Inilah fondasi seluruh pencarian manusia: bahwa dalam diri kita ada sesuatu yang pernah melihat Cahaya dengan sempurna—dan seluruh hidup adalah upaya menemukan kembali apa yang pernah kita saksikan itu.

TURUN KE DUNIA: TABIR-TABIR YANG MENUTUP CAHAYA

Setelah jiwa menjawab “Balā, syahidnā” di alam ruh, perjalanan kosmiknya memasuki babak kedua: penurunan ke dunia. Penurunan ini bukan hukuman, melainkan amanah. Al-Qur’an menggambarkan peristiwa ini dalam ayat yang agung: “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, tetapi mereka enggan memikulnya… lalu manusia yang memikulnya.” (QS Al-Ahzab 33:72). Di sinilah jiwa memasuki proses penjelmaan; dari cahaya murni menjadi makhluk berjasad, dari kelapangan alam ghayb menjadi keterikatan alam syahadah.

Saat memasuki rahim, jiwa berjalan melalui salah satu misteri terbesar penciptaan. Al-Qur’an menyebut proses itu sebagai transformasi dari segumpal tanah menjadi segumpal darah, lalu segumpal daging, lalu makhluk yang berbeda (QS Al-Mu’minun 23:12–14). Pada tahap terakhir inilah ruh ditiupkan—sebuah rahasia yang hanya diketahui oleh Tuhan. Tiupan itu adalah jejak asal, tanda bahwa manusia tidak pernah benar-benar dipisahkan dari-Nya. Namun setelah ruh memasuki tubuh, tabir pertama mulai turun.

Tabir utama itu bernama al-ghaflah—kelalaian. Ia seperti kabut halus yang mengaburkan ingatan tentang asal-muasal diri. Seorang bayi menangis saat lahir bukan hanya karena kejutan dunia, tetapi karena ruang batinnya tiba-tiba diselimuti keterpisahan. Para ulama mengatakan, tangisan pertama itu adalah jejak samar dari rindu primordial: rindu yang tidak lagi jelas objeknya, tetapi masih terasa di kedalaman intuisi.

Seiring bertumbuh, jiwa mulai mengenal dunia melalui indera. Ia belajar mencintai suara, warna, wangi, kenyamanan, pujian, dan rasa memiliki. Namun setiap kali jiwa melekat pada sesuatu yang fana, tabir baru terbentuk. Al-Qur’an menyebutkannya sebagai “hubbud dunya” (QS Al-Fajr 89:20), kecintaan berlebihan kepada dunia yang menutup hati dari Cahaya. Tabir demi tabir itu tidak datang sekaligus, tetapi perlahan, seperti malam yang turun tanpa disadari.

Di usia tertentu, jiwa mulai mendengar bisikan halus dari dalam dirinya—bisikan yang sering disebut Al-Qur’an sebagai waswas (QS An-Nas 114:4). Waswas membisikkan keraguan terhadap kebaikan, mengeruhkan kejernihan, dan menumbuhkan keinginan-keinginan yang menjauhkan hati dari fitrahnya. Ini adalah awal dari masuknya manusia ke dalam “zulumat,” kegelapan bertingkat-tingkat yang diibaratkan Al-Qur’an sebagai ombak yang menumpuk di atas ombak, ditutupi awan pekat (QS An-Nur 24:40).

Namun yang paling berbahaya bukanlah gelap itu sendiri, melainkan ketika jiwa mulai menganggap gelap sebagai terang. Ketika ambisi disangka cita-cita, ketika kegelapan syahwat disangka cinta, ketika ego disangka identitas. Pada titik ini, tabir terbesar—qaswah al-qalb, kekerasan hati—mulai terbentuk. Al-Qur’an mengingatkan tentang bahaya kekerasan hati dalam QS Al-Baqarah 2:74, bahwa hati dapat menjadi lebih keras dari batu, tidak mampu lagi menyerap cahaya.

Masa ini adalah fase penurunan paling dalam. Jiwa terseret ke dalam arus dunia, kehilangan arah, kehilangan kejernihan, dan perlahan merasa terputus. Tapi yang menarik, Al-Qur’an menekankan bahwa cahaya fitrah tidak pernah mati. Ia hanya tertutup, tidak padam. Allah berfirman, “Dan di dalam diri kalian, apakah kalian tidak memperhatikan?” (QS Adz-Dzariyat 51:21). Ayat ini adalah petunjuk halus bahwa meski tabir menutupi, sumber cahaya ada di dalam diri sejak awal; ia hanya menunggu untuk disingkapkan kembali.

Pada fase inilah, untuk pertama kalinya jiwa merasakan kegelisahan eksistensial: sebuah hampa yang bahkan dunia tidak dapat mengisi. Inilah momen awal dari kebangkitan. Sebab, kegelisahan adalah panggilan pertama dari Tuhan—panggilan lembut yang membuat jiwa mulai mencari, mulai bertanya, mulai merindukan sesuatu yang tidak bisa ia namai. Dalam tradisi tasawuf, momen ini disebut al-hayrah al-muhayyirah: kebingungan suci yang mengantar manusia menuju pencarian Cahaya Ilahi.

Bab kedua ini menandai titik gelap pertama dalam perjalanan: saat jiwa mulai terpisah dari asalnya, dibalut oleh tabir dunia, terseret oleh nafsu, dan kehilangan arah. Namun justru di kegelapan inilah benih kebangkitan disiapkan. Sebab, Tuhan tidak pernah menurunkan jiwa ke dunia tanpa menyiapkan jalan pulang.

PANGGILAN YANG MEMBELAH KEGELAPAN: YAQAZAH, KEBANGKITAN HATI

Kegelapan tidak pernah turun dalam satu malam; ia turun perlahan, setetes demi setetes, hingga suatu hari jiwa merasa tidak lagi mengenali dirinya. Pada mulanya, jiwa masih mampu menutupi kekosongan dengan ambisi, gelak tawa, keinginan-keinginan baru, atau pencapaian lahiriah. Namun semakin jauh ia berjalan, semakin besar rasa hampa yang menganga di dasar dirinya. Inilah yang Al-Qur’an gambarkan sebagai “kehilangan keseimbangan jiwa”, ketika manusia “mengetahui apa yang tampak, tetapi lalai dari kehidupan akhirat” (QS Ar-Rum 30:7). Lalai di sini bukan berarti tidak percaya, melainkan tidak sadar. Jiwa sibuk berputar mengitari hal-hal luar, sementara pusatnya—cahaya fitrah—perlahan meredup.

Pada suatu malam yang tidak direncanakan, ketika dunia terlelap, jiwa mulai mendengar suara halus yang seakan menembus tabir gelap yang mengurungnya. Bukan suara dari luar, tetapi dari dalam — lembut, lirih, namun kuat seperti ingatan yang sudah lama terkubur. Suara itu berkata, “Tidakkah engkau rindu pulang?” Jiwa terperanjat. Ada getaran yang selama ini asing, tetapi sekaligus begitu familiar. Seperti seseorang yang tiba-tiba mencium wangi kampung halamannya setelah puluhan tahun merantau. Inilah yang disebut para ahli tasawuf sebagai Yaqazah, kebangkitan dari kelalaian. Ia adalah momen ketika hati yang tertidur mulai membuka mata batinnya.

Kebangkitan ini bukan hasil usaha manusia semata; ia adalah bentuk kasih sayang Tuhan. Al-Qur’an menegaskan hal ini:
“Allah membimbing siapa yang Dia kehendaki kepada Cahaya-Nya.” (QS An-Nur 24:35).
Ayat ini menunjukkan bahwa cahaya bimbingan bukan sekadar hasil pencarian, tetapi anugerah. Tuhan-lah yang mengetuk jiwa; jiwa hanya merasakan dentumannya.

Ketika suara itu hadir, jiwa merasa tubuhnya berat, tetapi hatinya ringan. Ada sesuatu yang runtuh di dalam—seperti tembok panjang yang retak disinari fajar. Jiwa menangis tanpa tahu sebabnya. Tangis itu bukan kesedihan, tetapi tanda bahwa lapisan-lapisan yang mengeras selama ini mulai melunak. Al-Qur’an menggambarkan momen ini dengan sangat halus: “Bukankah sudah datang waktu bagi hati mereka untuk menjadi khusyuk mengingat Allah?” (QS Al-Hadid 57:16). Pertanyaan ilahi ini bukan teguran, tetapi panggilan lembut untuk bangun dari tidur panjang.

Jiwa tiba-tiba sadar bahwa selama ini ia hidup dengan mata terbuka, tetapi hati tertutup. Ia mendengar kata-kata orang, tetapi tidak pernah mendengar hatinya sendiri. Ia melihat dunia, tetapi melupakan Tuhannya. Dalam cahaya kecil yang mulai menembus retakan batinnya, jiwa mengakui sesuatu yang menakutkan tetapi melegakan: bahwa ia telah tersesat.

Pada saat itu, jiwa melakukan hal yang paling manusiawi: ia memanggil. Dalam kegelapan batinnya, jiwa mengucap doa yang tidak diajarkan siapa pun, tetapi muncul dengan sendirinya. Doa itu lahir dari kedalaman kecemasan eksistensial. Doa yang sama pernah diucapkan Nabi Yunus ketika terperangkap dalam tiga lapis kegelapan: malam, perut ikan, dan laut yang menelan cahaya. Jiwa itu juga mengucap: “La ilaha illa Anta, subhanaka, inni kuntu minaz-zalimin.” (QS Al-Anbiya 21:87).

Doa itu bukan sekadar permohonan; ia adalah pernyataan jujur tentang keadaan jiwa. Pengakuan bahwa kegelapan ini bukan semata cobaan, tetapi juga hasil dari pilihan-pilihan keliru yang dilakukan secara sadar maupun tanpa sadar. Dan ketika pengakuan ini naik ke langit, ia tidak ditolak. Al-Qur’an menegaskan: “Maka Kami pun memperkenankan doanya, dan Kami selamatkan dia dari kesedihan.” (QS Al-Anbiya 21:88). Ayat ini seakan menjadi cermin: sebagaimana Tuhan menyelamatkan Yunus, demikian pula Dia tidak akan membiarkan jiwa yang tulus mencari-Nya terbenam dalam kegelapan.

Momen yaqazah mengubah arah hidup manusia. Jiwa mulai menyadari bahwa seluruh kegelisahan yang mengganggunya selama ini bukan kegagalan, tetapi panggilan. Bukan hukuman, tetapi undangan. Undangan untuk kembali kepada Cahaya yang pernah disaksikan di alam ruh. Undangan untuk menyingkap tabir-tabir yang menutupi pandangan batinnya. Undangan untuk memulai perjalanan pulang.

Dan pada malam itu, di tengah keheningan yang membelah gulita, jiwa mengucapkan doa yang menandai langkah pertama dalam perjalanan panjangnya:
“Ya Allah, bangunkan aku dari tidurku. Tunjukkan jalan cahaya-Mu. Selamatkan aku dari diriku sendiri.”

Dengan doa itu, jiwa tidak lagi sendirian. Cahaya pertama telah muncul — belum terang, tetapi cukup untuk menuntun langkah awal menuju kebangkitan sejati.

NAFAS ILAHI DAN KELAHIRAN KEDUA: CAHAYA YANG MASUK KE DALAM HATI

Kebangkitan pertama—yaqazah—membuat jiwa membuka mata batin. Namun kebangkitan saja tidak cukup. Ia masih lemah, masih gamang, masih bergetar seperti burung yang baru saja menetas dari cangkangnya. Di sinilah fase kedua perjalanan ruhani dimulai: kelahiran kembali, bukan sebagai makhluk baru, tetapi sebagai makhluk yang mengenali dirinya kembali. Para sufi menyebut fase ini sebagai wiladah tsāniyah, kelahiran kedua. Dalam Al-Qur’an, hal ini digambarkan sebagai “Allah yang melapangkan dada seseorang untuk menerima Islam” (QS Az-Zumar 39:22). Lapang bukan berarti bebas dari masalah, tetapi bebas dari kebingungan.

Setelah jiwa memanggil Tuhan dalam kegelapan, sesuatu yang lembut dan tak terlihat mulai bergerak dalam dirinya. Ia tidak datang sebagai kilatan atau keajaiban besar, tetapi sebagai desiran halus—seperti angin tipis yang menyentuh daun, atau riak kecil yang mengusik permukaan air. Jiwa merasakannya sebagai ketenangan yang ia sendiri tidak mengerti. Ketenangan ini bukan karena masalah hilang, tetapi karena ia mulai merasa dipeluk oleh sesuatu yang tak kasat mata. Al-Qur’an memberi nama bagi desiran halus itu: as-sakīnah — ketenangan yang Allah turunkan ke dalam hati orang beriman (QS Al-Fath 48:4). Sakīnah adalah tanda pertama bahwa Cahaya sedang mendekat.

Pada fase ini, jiwa merasakan seolah ada “hembusan” dari arah yang tidak terlihat. Hembusan itu mengingatkan jiwa akan ayat-ayat penciptaan Adam:
“Maka ketika Aku telah menyempurnakannya dan meniupkan ke dalamnya ruh-Ku…” (QS Al-Hijr 15:29).
Meski ayat tersebut merujuk pada penciptaan manusia pertama, para mufassir menjelaskan bahwa nafkh ar-Ruh bukan hanya momen fisik, tetapi juga kiasan tentang pemberian kehidupan batin. Allah meniupkan kehidupan ke jasad, dan pada waktu tertentu dalam perjalanan seseorang, Allah meniupkan kehidupan kedua ke dalam hati.

Hembusan itu menghadirkan perubahan yang sulit dijelaskan. Jiwa mulai melihat dunia dengan warna yang berbeda. Kesedihan tidak lagi tampak sebagai kutukan, melainkan sebagai panggilan untuk pulang. Keindahan tidak lagi membuat jiwa lupa, tetapi mengingatkan pada sumber keindahan itu. Rasa cinta tidak lagi sekadar dorongan naluri, tetapi isyarat menuju cinta yang lebih tinggi. Inilah momen ketika jiwa mulai merasakan bahwa segala sesuatu di dunia tidak berdiri sendiri; semuanya adalah tanda. Al-Qur’an menyebut fenomena ini sebagai “āyāt li qawmin yatafakkarūn”—tanda-tanda bagi orang-orang yang mau berpikir (QS Al-Baqarah 2:164).

Namun proses ini tidak berjalan tanpa pergolakan. Ketika Cahaya hendak masuk, kegelapan yang selama ini bercokol di hati bergejolak. Ia menolak, berusaha tetap tinggal. Jiwa merasa seperti dua kekuatan bertarung di dalam dirinya. Al-Qur’an memberikan gambaran yang sangat tepat untuk kondisi ini:
“Dan Kami ilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketakwaan.” (QS Asy-Syams 91:8).
Ayat ini menegaskan bahwa pertarungan antara cahaya dan gelap adalah bagian dari takdir penciptaan. Ia bukan tanda kelemahan, tetapi tanda bahwa jiwa sedang hidup.

Dalam pergolakan itu, tibalah momen yang para sufi sebut sebagai inkisār al-qalb—retaknya hati. Ini adalah retakan spiritual, bukan retakan emosional. Retakan ini terjadi ketika ego mulai runtuh, ketika keangkuhan melemah, ketika manusia mengakui ketidakmampuannya dengan jujur. Pada saat itu, doa-doa yang keluar dari mulut tidak lagi sekadar bacaan, tetapi jeritan. Dalam retakan itulah Cahaya masuk. Allah berfirman:
“Allah memasukkan cahaya ke dalam dada orang yang Dia kehendaki.” (QS Al-An’am 6:125).

Masuknya cahaya bukanlah ledakan, melainkan penyusupan perlahan. Jiwa mulai merasa lebih jujur, lebih lembut, lebih peka terhadap dosa kecil sekalipun. Ia mulai menangis saat sujud tanpa tahu sebabnya. Ia mulai merasakan bahwa Tuhan bukan sekadar konsep, tetapi kehadiran. Inilah perubahan paling fundamental dalam perjalanan jiwa: dari mengenal Tuhan lewat teori menjadi mengenal Tuhan lewat rasa.

Ketika Cahaya mulai memenuhi celah-celah batin, jiwa tiba-tiba merasakan sesuatu yang telah lama hilang: kehidupan. Hidup tidak lagi sekadar bernafas, bekerja, belajar, berjalan, atau bercakap. Hidup kini adalah menyadari setiap detik sebagai kesempatan untuk dekat dengan-Nya. Al-Qur’an menyebut momen ini sebagai “man ahyaināhu bi nūr”—orang yang hidup dengan cahaya (QS An-Nur 24:40). Hidup dengan cahaya berarti setiap aktivitas duniawi menjadi ibadah, setiap gerak menjadi jalan pulang.

Pada titik inilah, jiwa mengalami kelahiran kedua. Bukan kelahiran fisik, tetapi kelahiran batin. Ia mulai merasakan bahwa dirinya bukan lagi makhluk yang tersesat, tetapi musafir yang menemukan arah. Cahaya belum sempurna, tetapi cukup untuk memandu langkah-langkah berikutnya. Dan jiwa berkata kepada Tuhannya:

“Rabbī, aku telah merasakan tiupan-Mu.
Hidupkanlah aku sepenuhnya dengan Nur-Mu.”

Dan dari balik rahasia yang tak bisa dijelaskan, seolah terdengar bisikan yang menenangkan:
“Jika Aku menghendakimu berjalan, maka Aku akan menuntunmu.”

MEDAN PERTEMPURAN BATIN: NAFSU, EGO, DAN TIGA MUSUH ABADI JIWA

Setelah Cahaya memasuki hati dan melahirkan kehidupan batin yang baru, perjalanan tidak tiba-tiba menjadi mudah. Justru pada tahap inilah pertarungan sesungguhnya dimulai. Para arifin berkata: “Kebangkitan adalah kelahiran, tetapi perjuangan adalah masa kanak-kanaknya.” Jiwa yang baru lahir harus belajar berjalan, dan untuk berjalan ia harus menghadapi tiga musuh yang bersemayam di sekeliling dan di dalam dirinya. Al-Qur’an menggambarkan medan perang ini sebagai “jihad akbar”, perjuangan terbesar—not melawan manusia lain, tetapi melawan diri sendiri.

Pertama adalah nafs, dorongan dalam diri yang condong pada kesenangan dan kelalaian. Al-Qur’an memberikan salah satu deskripsi paling jujur tentangnya:
“Sesungguhnya nafs itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali yang diberi rahmat oleh Tuhanku.” (QS Yusuf 12:53).
Nafs bukanlah musuh dalam pengertian yang harus dimusnahkan. Ia adalah kekuatan mentah—seperti api—yang bisa menerangi atau membakar. Pada masa lalu, nafs memimpin jiwa tanpa perlawanan. Kini, ketika Cahaya telah masuk, nafs merasa terancam. Ia menguatkan suaranya, membisiki keinginan-keinginan lama, melambungkan ego, membangkitkan rasa malas, marah, dan kebutuhan untuk dihargai. Jiwa mulai merasakan tarik-menarik antara dua panggilan: panggilan cahaya dan panggilan kenikmatan sesaat.

Musuh kedua adalah syahwat—keinginan yang membutakan. Ia bukan sekadar dorongan tubuh; ia adalah ketergantungan pada apa pun yang membuat jiwa lupa kepada arah pulangnya. Para mufassir menjelaskan bahwa syahwat adalah energi, bukan dosa itu sendiri. Energi ini harus diarahkan. Jika tidak diarahkan, ia bisa membuat jiwa tenggelam. Al-Qur’an menegaskan:
“Dijadikan indah bagi manusia kecintaan pada apa yang diinginkan…” (QS Ali Imran 3:14).
Ayat ini bukan celaan. Ini adalah peringatan bahwa syahwat, bila tak dijaga, akan memperindah hal yang merusak dan menutup mata dari hal yang menyelamatkan.

Musuh ketiga adalah yang paling licik: bisikan setan. Jika nafs adalah kekuatan internal, maka setan adalah kekuatan eksternal yang memperkuat nafs dan memanfaatkan syahwat. Ia bekerja lewat keraguan dan penundaan. Ia mengubah Cahaya kecil yang baru tumbuh menjadi api gelisah. Ia membuat jiwa bertanya: “Apa gunanya semua ini? Bukankah lebih mudah kembali seperti dulu?”
Al-Qur’an menggambarkan sifatnya:
“Setan menjanjikan kemiskinan dan memerintahkan keburukan.” (QS Al-Baqarah 2:268).
Setan tidak pernah muncul sebagai kejahatan yang jelas. Ia datang sebagai alasan logis, sebagai pembenaran, sebagai suara manis. Ia bahkan menggunakan bahasa spiritual untuk melemahkan semangat spiritual.

Ketika ketiga kekuatan ini bergerak serempak, jiwa merasakan dirinya berada di medan perang yang berlapis-lapis. Pertempuran bukan dalam bentuk konflik besar, tetapi dalam bentuk yang paling halus: memilih untuk bangun saat mengantuk, menahan lidah dari komentar sinis, menghindari pandangan yang mengotori hati, menunda kesenangan demi tujuan jangka panjang, atau sekadar mengalahkan rasa malas untuk melakukan kebaikan kecil. Pertempuran ini terjadi setiap hari, kadang setiap jam. Dan di sinilah hakikat jihad akbar itu nyata.

Namun jiwa tidak dibiarkan sendirian dalam medan perang ini. Al-Qur’an menegaskan sebuah janji:
“Dan orang-orang yang berjuang di jalan Kami, pasti akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (QS Al-‘Ankabut 29:69).
Ayat ini menunjukkan bahwa kemenangan tidak datang dari kekuatan jiwa, tetapi dari petunjuk Ilahi yang diberikan kepada mereka yang terus berusaha. Setiap langkah kecil di medan perang batin mendapat balasan berupa jalan yang semakin jelas.

Pada fase ini, jiwa belajar strategi-strategi baru. Ia belajar bahwa memerangi nafs bukan dengan mematahkannya, tetapi dengan mendidiknya. Ia belajar bahwa syahwat bukan untuk dibenci, tetapi untuk diarahkan agar menjadi energi ibadah. Ia belajar bahwa setan bukan untuk ditakuti, tetapi untuk dihadapi dengan dzikrullah.
Allah berfirman:
“Sesungguhnya siasat setan itu lemah.” (QS An-Nisa 4:76).
Ayat ini menjadi penawar bagi mereka yang ketakutan akan bisikan gelap.

Tetapi bahkan dalam pertarungan, ada momen-momen lembut. Di tengah kelelahan, jiwa terkadang mendengar suara lirih—suara yang sama yang menjawabnya pada malam kegelapan. Suara itu berkata:
“Aku lebih dekat kepadamu daripada urat lehermu.”
(QS Qaf 50:16).

Maka jiwa menghela napas panjang. Ia menyadari sesuatu yang penting: meskipun ia merasa berperang, sesungguhnya ia tidak pernah sendirian. Medan perang batin adalah tempat di mana manusia menemukan kelemahannya, dan justru di situlah ia menemukan Tuhan.

Dengan kesadaran itu, jiwa melangkah kembali ke medan pertempuran—lebih tenang, lebih kokoh, dan lebih yakin bahwa setiap luka yang ia terima adalah harga dari kedewasaan spiritual.

JALAN PENJERNIHAN: TAZKIYAH DAN TRANSFORMASI JIWA

Setelah melewati medan perang batin, jiwa memasuki fase baru yang lebih halus namun lebih mendalam—fase penyucian. Fase ini dikenal dalam Al-Qur’an sebagai tazkiyah, pembersihan dan pengembangan diri menuju keadaan fitrah yang suci. Jika fase sebelumnya adalah tentang bertahan, maka fase ini adalah tentang berubah.

Al-Qur’an menyatakan dengan tegas bahwa keberuntungan sejati hanya datang kepada mereka yang menempuh jalan ini:
“Sungguh beruntunglah orang yang menyucikan jiwanya, dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya.”
(QS Asy-Syams 91:9–10).
Ayat ini menjadi fondasi seluruh kerangka spiritual Islam. Ia menegaskan bahwa jiwa tidak akan naik kecuali melalui pembersihan; dan pembersihan tidak hanya menghapus, tetapi juga menumbuhkan. Dalam bahasa para arifin, tazkiyah bukan sekadar menghilangkan kepahitan, tetapi menanamkan manisnya iman.

Pada tahap ini, jiwa mulai melihat dirinya dengan kejernihan baru. Pertama-tama ia melihat bekas luka dari pertempuran batin: sifat-sifat lama yang masih muncul, kebiasaan buruk yang belum sepenuhnya padam, serta dorongan-dorongan nafs yang kadang kembali seperti gelombang. Tetapi berbeda dari sebelumnya, kini jiwa melihat semuanya dengan cahaya kesadaran, bukan dengan putus asa. Itulah tanda pertama penyucian: kemampuan untuk melihat tanpa tertipu.

Para mufassir menjelaskan bahwa pembersihan jiwa selalu terjadi melalui dua gerakan:

1. Takhalli — Mengosongkan Diri dari Kegelapan

Ini adalah proses melepaskan: melepaskan kesombongan, dengki, kecanduan, kemelekatan, kelalaian, dan segala karakter yang menutup hati. Nabi SAW bersabda:
“Dalam tubuh ada segumpal daging; jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuh. Jika ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh. Itulah hati.”
(HR Bukhari dan Muslim).
Jiwa memahami bahwa untuk maju, ia tak bisa membawa beban lama bersamanya. Ia belajar mengatakan “tidak”—bukan kepada dunia, tetapi kepada bayang-bayang yang selama ini menghalanginya dari dirinya sendiri.

2. Tahalli — Menghias Diri dengan Cahaya

Setelah mengosongkan diri, jiwa mulai mengisi dirinya dengan sifat-sifat baru: ketundukan, syukur, sabar, rendah hati, keberanian, cinta, dan keikhlasan. Sifat-sifat ini bukan datang sekaligus; ia tumbuh perlahan, seperti tanaman muda yang butuh cahaya dan air.
Al-Qur’an menggambarkan hati yang dihiasi cahaya sebagai:
“Hati yang dipenuhi ketenangan dari Allah.”
(QS Al-Fath 48:4).
Pada tahap ini, jiwa mulai mengalami sakînah—ketenangan ilahi—yang sebelumnya hanya ia dengar dari cerita orang-orang saleh.

Tajalli — Manifestasi Cahaya di Dalam Diri

Jika takhalli adalah membersihkan, dan tahalli adalah menghias, maka tajalli adalah buahnya: Cahaya Ilahi mulai termanifestasi dalam perilaku, ucapan, dan bahkan dalam cara jiwa memandang dunia.
Allah berfirman:
“Allah adalah Cahaya langit dan bumi…”
(QS An-Nur 24:35).
Para sufi mengatakan bahwa ayat ini bukan hanya tentang kosmos; ia juga tentang hati manusia. Saat Cahaya memasuki hati, ia menjadi seperti lentera kaca: bersinar, bening, dan memantulkan cahaya ke sekelilingnya.

Pada titik inilah jiwa merasakan transformasi yang tidak dapat dijelaskan oleh logika biasa. Amalan-amalan yang dulu terasa berat kini terasa ringan. Ibadah yang dulu hanya kewajiban kini menjadi kebutuhan. Dzikir yang dulu dilakukan karena perintah kini menjadi napas kehidupan. Ini bukan euforia spiritual; ini adalah stabilitas baru yang hanya mungkin tercapai setelah pembersihan mendalam.

Dalam proses ini, jiwa menemukan bahwa penyucian bukanlah tujuan akhir—ia adalah proses seumur hidup. Bahkan para nabi diuji; bahkan para wali ditahirkan kembali. Tetapi bagi jiwa yang sudah merasakan ketenangan pertama dari Cahaya Ilahi, perjalanan ini tidak lagi menakutkan. Ia tahu ke arah mana ia sedang menuju.

Saat jiwa berjalan di jalan penjernihan ini, ia mendengar bisikan lembut dari Tuhannya, bukan sebagai teguran, tetapi sebagai undangan:
“Bergegaslah menuju ampunan Tuhanmu…”
(QS Ali Imran 3:133).
Ayat ini menjadi seperti angin yang meniup layar kapal spiritualnya. Ia menggerakkan jiwa bukan dengan paksaan, tetapi dengan kerinduan.

Maka di fase tazkiyah, jiwa bukan hanya berjuang—ia mulai berkembang. Ia bukan hanya membersihkan diri—ia mulai berbuah. Dan buah itu adalah kedamaian yang tidak pernah ia kenal sebelumnya, sejenis ketenteraman yang membuatnya mengerti bahwa perjalanan ini benar-benar memiliki tujuan.

MI’RAJ HATI: MENAIKI TINGKATAN NAFS MENUJU KETENANGAN

Ketika jalan penyucian mulai menghasilkan buah-buah ketenteraman, jiwa memasuki fase yang paling halus dan paling menuntut dalam perjalanan spiritual: fase pendakian tingkat demi tingkat, sebuah perjalanan vertikal yang disebut para ulama sebagai mi’raj al-qalb, atau pendakian hati. Jika mi’raj Nabi adalah perjalanan jasadi-ruhani menuju langit, maka mi’raj manusia biasa adalah perjalanan batin menuju kedewasaan spiritual.

Al-Qur’an menggambarkan jiwa dalam beberapa tingkat keadaan, dan para mufassir menjelaskan bahwa setiap manusia bergerak di antara tingkatan ini. Ia naik ketika taat, jatuh ketika lalai, dan hanya kokoh setelah melewati proses tempaan panjang. Inilah “peta langit batin” yang menjadi pegangan para pencari Tuhan.

1. Nafs Ammarah (Jiwa yang Memerintah pada Keburukan)

Inilah titik awal perjalanan, saat jiwa dikuasai dorongan hawa nafsu, impuls, dan kelalaian. Ia gelap, berat, dan penuh kabut.
Al-Qur’an menyebutnya:
“Sesungguhnya nafs itu selalu menyuruh kepada kejahatan…”
(QS Yusuf 12:53).
Pada tahap ini, jiwa belum bisa naik. Ia baru mulai bergerak setelah cahaya pertama menyentuhnya. Fase ini sudah dilewati di bab-bab awal.

2. Nafs Lawwamah (Jiwa yang Mencela Diri Sendiri)

Setelah Cahaya mulai masuk, jiwa mulai memiliki kesadaran moral. Ia mencela dirinya ketika salah. Ia menangis ketika jatuh. Ia merasa kehilangan ketika jauh dari Tuhannya.
Allah bersumpah demi tingkatan ini:
“Dan Aku bersumpah demi jiwa yang banyak mencela.”
(QS Al-Qiyamah 75:2).
Sumpah Allah menunjukkan agungnya nilai kesadaran diri. Di sini, jiwa mulai bergerak, meski masih tergelincir. Fase ini adalah tempat pertarungan batin berlangsung.

3. Nafs Mulhamah (Jiwa yang Diilhami)

Melalui tazkiyah, jiwa memasuki tahap ketika ia mulai merasakan ilham-ilham kebaikan. Ia mendapatkan dorongan batin menuju amal saleh. Ia mulai memahami hakikat-hakikat yang dulu samar.
Allah berfirman:
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketakwaan.”
(QS Asy-Syams 91:8).
Di sini, intuisi spiritual mulai hidup. Doa mudah terkabul, hati cepat peka, dan jiwa mulai memahami bahasa ketenangan.

4. Nafs Mutmainnah (Jiwa yang Tenang)

Inilah tingkatan yang pertama kali disebut sebagai kemenangan spiritual sejati. Jiwa tidak lagi berperang setiap saat; ia menemukan ritme kedamaian. Keburukan tidak lagi menarik; kebaikan menjadi rumah.
Allah memanggil jiwa pada tahap ini dengan panggilan paling lembut dalam Al-Qur’an:
“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai.”
(QS Al-Fajr 89:27–28).
Para sufi menyebutnya sebagai taman hati: hijau, jernih, teduh. Pada tahap ini, dzikir menjadi kebutuhan, bukan beban. Hati menjadi tempat turunnya sakînah dan keyakinan.

5. Nafs Radhiyah (Jiwa yang Ridha)

Setelah tenang, jiwa naik menjadi pribadi yang meridhai keputusan Allah. Tidak hanya bersabar, tetapi ridha—menerima, memeluk, bahkan mencintai setiap takdir.
Ia mengikuti ayat:
“Allah ridha kepada mereka, dan mereka pun ridha kepada-Nya.”
(QS Al-Bayyinah 98:8).
Pada tahap ini, jiwa tidak lagi mempertanyakan mengapa, tetapi melihat hikmah dalam setiap keadaan.

6. Nafs Mardhiyyah (Jiwa yang Diridhai)

Jika radhiyah adalah jiwa yang ridha, maka mardhiyyah adalah jiwa yang diridhai oleh Allah.
Ciri-cirinya adalah:

  • amalnya diterima
  • hatinya bersih
  • lisannya jujur
  • perilakunya menjadi pelipur lara bagi orang lain
  • ia menjadi rahmat kecil bagi dunia sekitarnya

Inilah tahap di mana seseorang menjadi “wali kecil”—bukan dalam makna formal, tetapi dalam makna bahwa Allah mencintainya dan menjaganya.

7. Nafs Kamilah (Jiwa yang Sempurna)

Ini adalah puncak yang hanya dicapai oleh para nabi, para siddiqin besar, dan sebagian kekasih Allah yang paling murni. Ini bukan kesempurnaan tanpa dosa, tetapi kesempurnaan dalam keikhlasan dan kedekatan. Jiwa pada tahap ini hidup sepenuhnya dalam Nur Ilahi.
Ia menjadi manifestasi dari firman Allah:
“Allah adalah pelindung bagi orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya.”
(QS Al-Baqarah 2:257).
Pada tingkat ini, seluruh jiwa menjadi cahaya, dan setiap langkahnya menjadi dakwah tanpa kata.


Pada tahap mi’raj hati ini, jiwa merasa seolah sedang menaiki tangga yang tidak terlihat, tetapi terasa jelas dalam batinnya. Setiap tingkatan memberikan karakter baru, kehalusan baru, dan pandangan baru terhadap dunia. Ia mulai mengerti bahwa perjalanan spiritual bukan sekadar berjihad, bukan sekadar belajar, bukan sekadar membersihkan diri—tetapi meningkat.

Dan semakin tinggi ia naik, semakin ia melihat bahwa Cahaya Ilahi bukan hanya tujuan perjalanan, tetapi juga teman perjalanan.

DIALOG INTIM: BISIKAN ANTARA JIWA DAN TUHAN DALAM KEHADIRAN CAHAYA

Setelah jiwa menaiki tangga-tangga nafs dan mencapai ketenangan yang mantap, sesuatu yang baru muncul: sebuah kedekatan batin yang tidak dapat dijelaskan oleh kata-kata biasa. Ini adalah masa ketika jiwa mulai “mendengar” tanpa telinga, merasakan jawaban tanpa kata, dan menerima petunjuk tanpa huruf. Para sufi menyebutnya sebagai “munajat”—percakapan rahasia antara hamba dan Tuhannya.

Al-Qur’an mengisyaratkan pengalaman ini:
“Dan ketahuilah bahwa Allah berada dekat.”
(QS Al-Baqarah 2:186)

Dan lagi:
“Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.”
(QS Qaf 50:16)

Bukan kedekatan fisik, tetapi kedekatan pengetahuan, perhatian, cinta, dan penjagaan. Dalam kedekatan itulah dialog ini lahir.

Dialog — “Di Antara Dua Hening”

Jiwa berkata:

“Tuhanku… setelah perjalanan panjang ini, mengapa hatiku kini terasa ringan? Dahulu aku berjalan tertatih, kini aku berjalan seakan aku dituntun. Apakah ini pertanda bahwa Engkau dekat denganku?”

Tuhan menjawab dalam makna:

“Aku selalu dekat. Engkaulah yang akhirnya mendekat.”

Makna ini meresap ke dalam dada jiwa seperti cahaya yang lembut. Selama ini ia merasa telah melakukan perjalanan menuju Tuhan, tetapi kini ia memahami bahwa Tuhan tidak pernah jauh—yang jauh hanyalah dirinya.

Al-Qur’an berkata:
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya tentang Aku, maka (jawablah) bahwa Aku dekat…”
(QS Al-Baqarah 2:186)

Jiwa berkata:

“Tuhanku, aku telah melewati kegelapan, tetapi kadang aku masih merasakan bayang-bayang kelam itu. Apakah Engkau benar-benar menerima aku, meski aku masih membawa sisa diriku yang lama?”

Tuhan menjawab dalam makna:

“Rahmat-Ku mendahului murka-Ku. Dan pintu-Ku tidak pernah menolak yang mengetuk dengan sungguh-sungguh.”

Ini adalah jawaban dari ayat yang menjadi pelipur bagi setiap jiwa yang bimbang:
“Janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah.”
(QS Az-Zumar 39:53)
Jiwa menangis, bukan karena sedih, tetapi karena lega—bahwa kembalinya ia tidak pernah ditolak.

Jiwa berkata:

“Tuhanku… apa yang Engkau inginkan dariku setelah semua ini? Aku telah mencoba taat, mencoba ikhlas, mencoba suci. Tetapi apa yang Engkau kehendaki dari perjalanan ini?”

Tuhan menjawab dalam makna:

“Aku menginginkan hatimu. Karena ketika hatimu milik-Ku, seluruh dirimu akan mengikuti.”

Ini sesuai dengan sabda Nabi:
“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa kalian, tetapi hati kalian.”
(HR Muslim)

Dan firman Allah:
“Pada hari itu, harta dan anak tidak bermanfaat, kecuali yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih.”
(QS Asy-Syu’ara 26:88–89)

Jiwa berkata:

“Tuhanku… aku takut tergelincir kembali ke kegelapan. Aku takut melupakan-Mu. Bagaimana aku bisa tetap teguh?”

Tuhan menjawab dalam makna:

“Ingatlah Aku, niscaya Aku mengingatmu. Peganglah Aku, niscaya Aku memegangmu.”

Ini adalah janji paling langsung dalam Al-Qur’an:
“Ingatlah kepada-Ku, Aku pun mengingat kalian.”
(QS Al-Baqarah 2:152)

Jiwa merasa seakan seluruh alam menjadi saksi bahwa hubungan ini bukan hubungan sepihak—bahwa setiap langkah menuju Tuhan dibalas dengan langkah lebih dekat dari Tuhan.

Jiwa berkata:

“Tuhanku… aku tidak memiliki apa-apa. Ilmuku sedikit, ibadahku penuh celah, hatiku masih belajar, dan amalanku kadang terkotori. Bagaimana aku bisa layak bagi cahaya-Mu?”

Tuhan menjawab dalam makna:

“Cahaya itu bukan karena layakmu. Cahaya itu karena kasih-Ku. Aku memberi bukan kepada yang sempurna, tetapi kepada yang bersungguh-sungguh.”

Ini selaras dengan ayat:
“Dan orang-orang yang berjuang di jalan Kami, pasti Kami akan tunjukkan jalan-jalan Kami.”
(QS Al-‘Ankabut 29:69)


Jiwa berkata:

“Tuhanku… jika Engkau dekat, mengapa aku masih merasakan jarak?”

Tuhan menjawab dalam makna:

“Karena engkau masih memegang dunia dengan satu tangan, dan ingin memegang-Ku dengan tangan yang lain. Lepaskanlah—maka kau akan mendekat tanpa hambatan.”

Ini sesuai dengan firman-Nya:
“Kalian tidak akan mencapai kebajikan sebelum kalian menginfakkan sesuatu yang kalian cintai.”
(QS Ali Imran 3:92)

Dan para arifin berkata:
“Jika engkau ingin terbang, lepaskan bebanmu.”

Jiwa berkata:

“Tuhanku… setelah semua ini, apa yang Engkau janjikan bagiku?”

Tuhan menjawab dalam makna:

“Aku janjikan rumah dalam hatimu sebelum rumah di surga. Aku janjikan ketenangan sebelum kemenangan. Aku janjikan kebersamaan sebelum balasan.”

Jiwa tersungkur dalam sujud batin, karena jawaban ini mengingatkannya pada ayat yang selama ini ia cari tanpa sadar:
“Ketahuilah, hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenang.”
(QS Ar-Ra’d 13:28)

Akhir Dialog — “Dan Hatimu Kembali”

Dalam percakapan batin itu, jiwa menyadari bahwa perjalanan panjangnya bukan sekadar untuk menemukan Tuhan—tetapi untuk menemukan dirinya sendiri di hadapan Tuhan. Dan ketika jiwa bangkit dari munajat itu, ia merasa lebih ringan, lebih terang, lebih penuh:
bukan karena dunia berubah, tetapi karena hatinya kembali menjadi milik yang menciptakannya.

Catatan Akhir: Hidup dalam Nur dan Menjadi Cahaya bagi Dunia

Setelah perjalanan panjang melewati lembah keraguan, padang pengharapan, malam-malam sunyi, dan percakapan tak terputus dengan Yang Maha Cahaya, sang Jiwa akhirnya tiba pada suatu dataran yang tidak lagi terasa seperti tempat, melainkan keadaan. Tidak ada angin, tidak ada bayangan, tidak ada suara—tetapi justru dalam keheningan total itulah ia merasakan sesuatu yang belum pernah ia temukan: ketenangan yang tidak rapuh, tidak bergantung, tidak menunggu apa pun untuk terjadi. Seolah seluruh semesta berhenti hanya untuk mengizinkannya merasakan satu hal: damai.

Ia berdiri dengan napas yang teratur, dada yang lapang, dan kesadaran yang bening. Dan dalam kejernihan itu, Cahaya turun bukan sebagai kilau yang menyilaukan, melainkan sebagai kehadiran yang lembut dan menyelimuti. Cahaya itu tidak lagi berada “di luar”, melainkan mengalir ke dalam, memenuhi ruang-ruang terdalam yang dulu dipenuhi kecemasan.

Sang Jiwa kemudian berbisik pelan, “Ya Rabb… apakah ini ketenangan yang selama ini kucari?”

Dan Cahaya menjawab, bukan dengan gema yang menggetarkan, melainkan dengan bisikan yang terasa seperti desahan kasih:

Dialah Allah yang menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang beriman (QS. Al-Fath: 4).
Ketenangan bukan tempat engkau tuju—ketenangan adalah rumah yang sejak awal berada di dalam dirimu.”

Air mata sang Jiwa jatuh tanpa sedih, tanpa bahagia—air mata yang hanya muncul ketika seseorang akhirnya memahami sesuatu yang tidak bisa dijelaskan oleh kata-kata: bahwa seluruh pencarian panjangnya adalah perjalanan kembali kepada dirinya sendiri, kepada fitrah yang selalu diterangi nur-Nya.

Ketika sang Jiwa mulai menyerap makna itu, satu perubahan halus terjadi. Cahaya di dalam dirinya memantul kembali ke luar. Ia tidak hanya menerima Cahaya; ia mulai memancarkannya. Tanpa disadari, ia menjadi lentera kecil di tengah hamparan gelap—bukan karena ia ingin dilihat, tetapi karena ia tidak bisa lagi menahan cahaya itu untuk tetap tinggal di dalam.

“Ya Rabb,” tanya sang Jiwa, “bagaimana aku bisa menjadi cahaya bagi dunia, ketika aku hanya hamba yang penuh kekurangan?”

Lalu Cahaya menjawab,

“Cahaya-Ku tidak memilih bejana yang sempurna. Ia memilih bejana yang retak, agar cahaya itu bisa keluar.
Allah adalah Cahaya langit dan bumi… Cahaya di atas cahaya (QS. An-Nur: 35).
Engkau tidak memberi cahaya. Engkaulah yang membawa cahaya-Ku.”

Dengan jawaban itu, sang Jiwa merasakan suatu amanah halus yang tidak membebani, namun menggetarkan. Ia mengerti bahwa puncak ketenangan bukanlah pelarian dari dunia, tetapi kembali ke dunia dengan hati yang telah berubah. Puncak ketenangan bukanlah sunyi total, tetapi kemampuan membawa sunyi itu ke tengah hiruk-pikuk kehidupan.

Ia memandang sekeliling, dan dunia yang dulu tampak kacau kini terlihat berbeda. Bukan karena dunia berubah, tetapi karena matanya kini memandang dengan nur yang baru. Ia melihat manusia yang terluka, bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai jiwa-jiwa yang sedang mencari pulang. Ia melihat penderitaan, bukan sebagai hukuman, tetapi sebagai panggilan untuk menyinari.

Cahaya berkata lagi,

“Ketika engkau telah menemukan ketenangan-Ku, jangan simpan untuk dirimu sendiri.
Dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang bertakwa (QS. Al-Furqan: 74)—
bukan pemimpin dalam kekuasaan, tetapi dalam keteladanan rahmat.”

Sang Jiwa menarik napas perlahan, dan dalam tarikan itu ia menerima amanah barunya: hidup sebagai pembawa cahaya. Bukan dengan dakwah yang memaksa, bukan dengan kekuatan yang menaklukkan, tetapi dengan kehadiran yang menenangkan—seperti fajar yang datang tanpa suara, namun mampu mengubah seluruh langit.

Kini ia memahami:
Puncak ketenangan bukan tempat perjalanan berakhir, tetapi tempat dari mana perjalanan baru dimulai—perjalanan menjadi cahaya yang menghangatkan, bukan yang menyilaukan; cahaya yang membuka jalan, bukan yang menghakimi; cahaya yang memanggil pulang, bukan yang mengusir.

Dan ketika ia melangkah kembali ke dunia, Cahaya berbisik lembut,

“Pergilah, dan jadilah saksi. Karena siapa pun yang berjalan dengan nur, akan menjadi nur bagi yang lain.”

Dengan itu, sang Jiwa turun dari dataran ketenangan puncak—bukan meninggalkan, melainkan membawanya ke mana pun ia melangkah. Perjalanannya belum selesai. Tetapi kini setiap langkah adalah cahaya.

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *